Tuan Effendi cemburu. Kecemburuan seorang ayah saat anak tunggalnya berkeras datang untuk ayah lain. Sering kali ayah kandung Calvin itu bertanya-tanya: pesona apa dalam diri Abi Assegaf hingga mampu menjerat hati Calvin untuk mengaguminya dan menjadikannya ayah kedua? Ah, ia tak tahu. Ada kharisma, sesuatu tak kasat mata dalam diri Abi Assegaf yang membuatnya disayangi banyak orang. Abi Assegaf punya kekuatan sendiri untuk menjadi pribadi loveable.
Eits, jangan salah. Bukan hanya Tuan Effendi. Adica pun cemburu. Terbiasa mendapat perhatian full dari ayah keduanya, kini ia cemburu melihat Abi Assegaf berduet dengan Calvin. Terlintas dalam pikirannya untuk belajar bermain piano. Tak apa-apa sejenak meninggalkan biola. Berpindah dulu ke piano, mempelajarinya, dan meguasainya.
Cemburu anak dan orang tua, sangat wajar. Bukankah cemburu tanda cinta?
** Â Â Â
Acara itu berlangsung lancar. Lupa dengan lelah dan sakitnya, Abi Assegaf mendatangi para tamu. Menyapa mereka satu per satu. Bertekad menyambung kembali silaturahmi setulus hati. Adica, Calvin, Syifa, dan Arlita mendampingi di kanan-kirinya.
"Pak Assegaf, Anda sehat?" tanya seorang tamu berkulit putih, berpostur tinggi, dan berambut gelap.
Mengapa pertanyaan mainstream itu lagi? Namun, Abi Assegaf selalu menjawab dengan sabar. Dia berpikiran positif. Menanyakan hal itu artinya mereka peduli. Kepedulian mestinya dibalas kasih dan kesabaran. Bukankah begitu?
"Banyak yang sayang Abi..." kata Adica lembut.
"Alhamdulillah. Abi senang kalau bisa mengisi sisa hidup dengan kasih sayang." balas Abi Assegaf.
Sedetik setelah kata kasih sayang terucap, pintu studio berdebam terbuka. Seorang perempuan paruh baya berkulit sawo matang dan berpakaian sederhana terengah. Rambutnya berantakan. Langkahnya terpatah-patah memasuki studio.
Abi Assegaf menatap perempuan itu iba. Pelan dilepasnya genggaman tangan Adica dan Arlita, lalu dihampirinya si perempuan.