Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Tulang Rusuk Malaikat] Doa Lintas Agama, Seuntai Pilihan

9 November 2018   06:00 Diperbarui: 9 November 2018   11:06 987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ombak menghempas bibir pantai. Gradasi jingga-kemerahan melukis langit pagi. Di pagi pertamanya kembali ke rumah mewah tepi pantai, Abi Assegaf berkeras ingin melihat sunrise. Arlita tak kuasa menolak. Ia pun memapah suaminya ke pinggir pantai.

"Keras kepala..." maki Arlita dalam bisikan.

Abi Assegaf menghela nafas. Ingin rasanya ia lepas selang oksigen itu. Bukakah tak baik bergantung pada alat medis penunjang hidup?

"Siapa tahu ini pagi terakhirku. Belum tentu besok pagi aku bisa melihat sunrise seperti sekarang."

Suara lembut Abi Assegaf mengoyak perih hati Arlita. Tidak, jangan dulu ambil suaminya. Mereka belum lama rujuk. Akankah detik waktu segera berakhir? Kristal bening berbayang di mata Arlita. Kakinya sedikit goyah. Buru-buru ia menguasai diri. Ia harus tetap menopang tubuh tinggi Abi Assegaf.

"Assegaf, kau harus kuat demi anak-anak kita...ingat, Syifa dan Adica masih butuh kamu."

Adica meletakkan sejenak beban kesedihannya. Siapa anak yang tak sedih saat ayahnya divonis kanker paru-paru? Sebentuk janji terpatri kuat di hatinya. Dia takkan meninggalkan Abi Assegaf untuk alasan apa pun. Bahkan dia telah memohon pada Dokter Tian agar dibolehkan kemoterapi di rumah saja. Semua peralatan medis dibawa ke rumah. Alat-alat medis untuk membantu proses pengobatan Adica dan Abi Assegaf. Katakanlah lantai tiga bertransformasi layaknya rumah sakit mini.

Mengapa bahagianya hanya sesaat? Baru saja sekeping bahagia hadir, kini kembali direbut penyakit ganas. Dan mengapa harus Abi Assegaf? Hatinya berteriak, bertanya pada langit. Adica lebih rela dirinya kena komplikasi dibandingkan menelan kenyataan pahit sakit itu menjalari tubuh Abinya. Sudah cukup kehilangan Michael Wirawan merampas pelangi hidupnya.

Pelan diletakkannya gelas kosong itu. Diremasnya bungkusan obat, lalu dilangkahkannya kaki ke built-in-clothes. Ia ambil Versace Suites for Men, dikenakannya dengan rapi. Waktunya tak banyak.

"Waktuku mungkin tak banyak, Arlita. Logikanya beginiL sudah terlambat aku tahu kalau aku terkena kanker. Makin lanjut stadiumnya, makin sulit diobati." Abi Assegaf berbisik pelan. Bersandar di pelukan Arlita.

"Tidakkah kau ingin bertahan dan bersemangat untuk sembuh demi anak-anak kita?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun