Ombak menghempas bibir pantai. Gradasi jingga-kemerahan melukis langit pagi. Di pagi pertamanya kembali ke rumah mewah tepi pantai, Abi Assegaf berkeras ingin melihat sunrise. Arlita tak kuasa menolak. Ia pun memapah suaminya ke pinggir pantai.
"Keras kepala..." maki Arlita dalam bisikan.
Abi Assegaf menghela nafas. Ingin rasanya ia lepas selang oksigen itu. Bukakah tak baik bergantung pada alat medis penunjang hidup?
"Siapa tahu ini pagi terakhirku. Belum tentu besok pagi aku bisa melihat sunrise seperti sekarang."
Suara lembut Abi Assegaf mengoyak perih hati Arlita. Tidak, jangan dulu ambil suaminya. Mereka belum lama rujuk. Akankah detik waktu segera berakhir? Kristal bening berbayang di mata Arlita. Kakinya sedikit goyah. Buru-buru ia menguasai diri. Ia harus tetap menopang tubuh tinggi Abi Assegaf.
"Assegaf, kau harus kuat demi anak-anak kita...ingat, Syifa dan Adica masih butuh kamu."
Adica meletakkan sejenak beban kesedihannya. Siapa anak yang tak sedih saat ayahnya divonis kanker paru-paru? Sebentuk janji terpatri kuat di hatinya. Dia takkan meninggalkan Abi Assegaf untuk alasan apa pun. Bahkan dia telah memohon pada Dokter Tian agar dibolehkan kemoterapi di rumah saja. Semua peralatan medis dibawa ke rumah. Alat-alat medis untuk membantu proses pengobatan Adica dan Abi Assegaf. Katakanlah lantai tiga bertransformasi layaknya rumah sakit mini.
Mengapa bahagianya hanya sesaat? Baru saja sekeping bahagia hadir, kini kembali direbut penyakit ganas. Dan mengapa harus Abi Assegaf? Hatinya berteriak, bertanya pada langit. Adica lebih rela dirinya kena komplikasi dibandingkan menelan kenyataan pahit sakit itu menjalari tubuh Abinya. Sudah cukup kehilangan Michael Wirawan merampas pelangi hidupnya.
Pelan diletakkannya gelas kosong itu. Diremasnya bungkusan obat, lalu dilangkahkannya kaki ke built-in-clothes. Ia ambil Versace Suites for Men, dikenakannya dengan rapi. Waktunya tak banyak.
"Waktuku mungkin tak banyak, Arlita. Logikanya beginiL sudah terlambat aku tahu kalau aku terkena kanker. Makin lanjut stadiumnya, makin sulit diobati." Abi Assegaf berbisik pelan. Bersandar di pelukan Arlita.
"Tidakkah kau ingin bertahan dan bersemangat untuk sembuh demi anak-anak kita?"