Ketakutan menggelembung di hati. Tubuh Abi Assegaf gemetar seketika. Ada bahaya, ada yang akan mengambil Adica darinya.
Tidak, ini tak boleh dibiarkan. Benang-benang impuls di otaknya mendorong kenekatan. Perlahan pria blasteran Arab-Indonesia itu mencoba bangkit dari tempat tidur. Sekali, dua kali, tiga kali, usahanya berhasil.
Kedua kakinya serasa digantungi barbel. Ya, Allah, belum pernah ia selemah ini. Nikmat sehat sungguh tak dapat didustakan. Sakit hadir untuk menghargai sehat.
Baru dua langkah menuju pintu, tetiba Abi Assegaf terjatuh. Ia mengerang kesakitan tanpa bisa dicegah lagi. Suara rintihannya membangunkan Arlita, Adica, dan Syifa. Ketiganya terburu mendekat, membantunya berdiri.
"Astaghfirullah...Abi, kenapa bisa begini?" desis Syifa panik.
"Abi tidak apa-apa?" tanya Adica cemas.
Kekhawatiran terlukis dalam di mata Arlita. Dipegangnya tangan Abi Assegaf. Sekali-dua kali pandangannya terarah ke jendela. Ruang pemahaman membuka.
"Pelan-pelan, Sayangku. Biar aku yang hadapi mereka. Takkan ada yang bisa mengambil Adica dari kita." Arlita berbisik menenangkan.
Setelah membaringkan kembali Abi Assegaf, Arlita bergegas keluar. Ia berhadapan dengan Tuan Effendi, Nyonya Rose, dan Calvin. Ketegangan bergolak. Menaikkan atmosfer tak nyaman di sekeliling koridor rumah sakit.
Tatapan mata Arlita begitu tajam. Wanita mualaf itu mengangkat dagu dengan angkuh, lalu berkata.
"Jangan ganggu keluarga Assegaf lagi."