Tempatku berteduh
Dari semua kepalsuan dunia (Chrisye-Damai BersamaMu).
Pria tampan berlesung pipi itu jatuh. Jatuh dalam rasa sakit. Hanya pada saat-saat tertentu Abi Assegaf menangis: saat shalat Tahajud, saat umrah, dan saat keluarganya tertimpa masalah berat. Itu pun ia lebih sering menyembunyikan air mata.
Namun...kini? Lihatlah, bulir bening berkilauan di mata teduh itu. Abi Assegaf menangis bukannya lemah, tetapi menahan sakit luar biasa. Tim medis mengelilingi tempat tidurnya. Beberapa berbisik-bisik kalut. Arlita menggenggam erat tangannya. Adica dan Syifa amat berharap tubuh merekalah yang terbaring di ranjang itu.
"Abi...Abi harus kuat. Abi jangan tinggalkan Syifa." isak Syifa memohon.
"Aku masih butuh Abi..."
Hanya itu yang bisa Adica katakan. Tak tahukah kata-katanya telah menyakiti potongan hati yang lain?
Beberapa kali Abi Assegaf sesak nafas. Entah apa sakit yang menggerogoti dadanya. Sakit itu masih jadi tabir misteri bagi Adica, Arlita, dan Syifa. Tapi, yang terpenting bagi mereka kini hanyalah selalu ada di samping Abi Assegaf.
Kesedihan membuncah. Menggerogoti rasa, memahat luka. Pedih membayangi, menakuti dengan firasat kehilangan. Pukulan berat menghantam jiwa ketiga anggota keluarga Assegaf.
"Assegaf...demi Allah, kita baru saja rujuk. Aku baru merasakan bahagia sesaat...haruskah semua ini berakhir begitu cepat?" tangis Arlita, membelai-belai tangan Abi Assegaf.
Tangan pria itu dingin sekali. Ya, Allah, haruskah pria sebaik dan segegar itu dihantam ujian lagi setelah merasakan manisnya kebahagiaan sekejap?