Dua perawat menahan langkah Arlita. Wajah wanita itu menegang. Di dalam sana, suaminya tengah melawan maut. Tak mungkin ia diam begitu saja.
"Anda harus tunggu di luar. Biar kami bisa menangani suami Anda." kata suster tegas.
"Saya ingin menemaninya...saya ingin di sampingnya!" Arlita berkeras.
"Tidak bisa. Lebih baik Anda tunggu di luar dan doakan suami Anda."
Pintu berdebam menutup di depan wajah Arlita. Kalimat terakhir si perawat bernada sentimen agama. Berdoa? Memangnya dia Tuhan atau pemuka agama? Berdoa itu pilihan. Domain yang sangat, sangat private. Tak bisa dicampuri entitas lain di luar diri seseorang.
Arlita terduduk lemas di kursi ruang tunggu. Kebahagiaannya lesap. Bola matanya berawan. Sesaat kemudian, kedua matanya berhujan. Pundak Arlita berguncang hebat menandakan isak tangis yang dalam.
Adica, Syifa, Calvin, Tuan Effendi, dan Nyonya Rose tiba. Syifa memeluk Umminya, bergantian dengan Adica. Wajah Tuan Effendi dan Nyonya Rose beku tanpa ekspresi. Calvin berkali-kali minta maaf. Ia merasa, salah Papanyalah hingga Abi Assegaf jatuh sakit.
Tentu saja Arlita, Syifa, dan Adica yang paling terpukul. Tragedi malam ini menerbitkan kekhawatiran dan tanda tanya besar. Mengapa Abi Assegaf kesakitan? Mengapa Abi Assegaf jatuh pingsan?
Firasat Arlita membisikkan, ada yang disembunyikan suaminya. Mungkinkah Abi Assegaf menutup dan menahan rasa sakit setelah sekian lama?
Jika bertanya pada mereka, jawabannya tentu tak percaya. Selama ini, Abi Assegaf sosok tegar dan tangguh. Sulit membayangkan sosok setegar itu dihantam penyakit serius.
Gelisah, Arlita berjalan ke depan kaca. Dilihatnya Abi Assegaf terbaring lemah dengan selang oksigen terpasang di hidungnya. Bekas darah sudah dibersihkan. Wajah Abi Assegaf begitu pucat. Kembali Arlita menangis. Ia tak tahan, sungguh tak tahan memandangi suaminya dalam kondisi seperti itu.