Bahkan, Dokter Tian memperingatkan mereka untuk berhati-hati. Bukan peringatan biasa. Mereka pun tahu siapa yang tengah mereka hadapi.
Satu dari sembilan asisten rumah tangga mengetuk pintu kamar. Nyonya Rose membukakannya. Ada Dokter Tian di bawah, begitu kata sang pelayan. Tak biasanya Dokter Tian datang ke rumah mereka sesore ini.
** Â Â
Rinai hujan menerpa kaca-kaca jendela. Koridor rumah sakit sangat dingin. Sesekali terdengar deru angin dan gemuruh petir. Dinginnya udara terkalahkan kehangatan di ruang rawat VIP.
Katakanlah mereka layak menjadi keluarga bahagia. Adica Wirawan Assegaf, Asyifa Assegaf, Arlita Maria Anastasia Assegaf, dan Zaki Assegaf tak melepaskan senyum di wajah mereka. Kini, mereka dipersatukan lagi karena cinta. Harapan mekar dalam cinta. Arlita tengah menyuapi Abi Assegaf dengan potongan apel. Syifa mengupasi buah-buah lainnya. Adica entah sengaja entah tidak, mencolek pipi Syifa dengan krim. Lalu, mereka berempat saling suap kue dan buah-buahan.
"Lihatlah," bisik Dokter Tian, mencengkeram pergelangan tangan Tuan Effendi.
"Tegakah kaurusak kebahagiaan mereka dengan tiba-tiba muncul dan mengakui Adica sebagai anakmu? Pak Assegaf sedang sakit, baru-baru ini mantan istrinya mulai luluh...Adica juga belum sembuh. Sabarlah, Effendi."
Air mata Tuan Effendi dan Nyonya Rose tumpah. Sesosok pemuda tinggi, atletis, dan berkacamata memeluk mereka. Calvin datang bagai malaikat, berupaya menghapus kesedihan orang tuanya.
"Nanti dulu, Pa...Ma. Semua ada waktunya." ucap Calvin lembut, diangguki Dokter Tian.
"Tapi kapan, Calvin? Kapan?! Sudah terlalu lama..."
Calvin hanya bisa merengkuh Mamanya ke dalam pelukan. Menenangkan, menghapus kesedihan dan kerinduan. Entah cinta dan rindu ini bertepuk sebelah tangan atau tidak. Nampaknya, Adica sudah terlanjur cinta dengan keluarga Assegaf.