"Abi Assegaf akan baik-baik saja. Begitu juga Revan." Calvin berbisik lembut menenangkan.
Satu-dua kali Silvi terisak. Dia sangat cemas memikirkan kondisi kakaknya. Gadis bermata biru itu menyayangi Revan lebih dari apa pun, terlebih sejak orang tua mereka meninggal. Adica tertunduk dalam. Sisi terdalam hatinya mendoakan Abi Assegaf, sisi lainnya mendoakan Revan. Koridor rumah sakit itu disesaki kesedihan.
Derap langkah dua pasang kaki mengalihkan atensi. Mereka berpaling ke ujung koridor. Syifa dan Arlita berlari ke dekat mereka. Gurat kecemasan mendominasi wajah dua perempuan cantik itu.
Syifa menghambur ke pelukan Adica. Tangisnya pecah.
"Terima kasih...terima kasih telah membawa Abi ke sini. Kau hebat, Adica. Masih kuat membawa dua orang ke rumah sakit, walau kau sendiri sedang sakit." Syifa memuji di sela isaknya.
Adica dan Syifa berpelukan. Berulang kali Arlita melempar pandang cemas ke kaca yang membatasi koridor dengan ruang perawatan. Tak bisa diingkari, hatinya memendam beribu kecemasan. Ia satu dari sedikit orang yang paling memahami kelemahan Abi Assegaf. Wanita mualaf itu takut, sungguh takut.
Paramedis yang dinanti-nanti akhirnya keluar juga. Apa yang dikatakan begitu mengejutkan: berulang kali Abi Assegaf memanggil Arlita.
"Masuklah, Ummi. Abi butuh Ummi," Syifa memohon.
"Tapi...apa tidak sebaiknya kamu dan Adica saja?" tolak Arlita ragu.
"Tidak, Ummi...maaf, Bu Arlita saja yang masuk." timpal Adica halus.
"No, no...panggil aku Ummi, Adica. Kau anakku juga. Anak Assegaf akan jadi anakku."