Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Tulang Rusuk Malaikat] Hadapi dengan Kelembutan

31 Oktober 2018   06:00 Diperbarui: 31 Oktober 2018   05:58 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bunyi roda-roda kursi beradu dengan permukaan paving block. Tanpa canggung, Silvi mendorong kursi roda Calvin menyusuri gedung fakultasnya. Semua mata tertuju pada gadis cantik itu. Silvi Gabriella Tendean, putri kampus, Manado Borgo yang jelita, bersama pemuda tampan berkacamata di atas kursi roda. Bisikan-bisikan terdengar. Wajah-wajah keheranan menyeruak.

"Parah ya. Cowok nggak tahu diri. Udah tahu sakit-sakitan, masih egois mau sama Silvi."

"Dari pada sama cowok penyakitan kayak gitu, mendingan sama aku."

"Masa putri kampus pasangannya sama cowok nggak sempurna?"

Silvi tetap tenang. Begitu pula Calvin. Namun, jauh di dalam hati, tersimpan debur rasa bersalah. Calvinlah yang bersalah. Ia merasa tak pantas untuk Silvi. Mental block berupa bisikan-bisikan sarkastis terus mengikuti.

Bisikan angin pantai menyelusup masuk lewat celah di dinding kaca. Abi Assegaf berjalan memutari balkon tinggi, menetralisir resahnya. Dua botol Hatten Wines tergenggam di tangannya. Hatten Wines, minuman beralkohol di Indonesia. Perusahaan wine yang didirikan di Bali pada tahun 1994 oleh Ida Bagus Rai Budarsa. Dengan perkebunan sepanjang pantai Utara Bali (Kabupaten Buleleng), Hatten Wines menggunakan anggur hitam lokal jenis Alphones-Lavalle, French table grapes, anggur putih lokal Belgia, dan anggur Probolinggo biru. Sedikit orang yang tahu, di Indonesia pun ada merk-merk minuman alkohol macam Hattens Wine yang diakui dunia.

Tak semua orang Indonesia menerima alkohol. Begitu pula Abi Assegaf. Ia sangat anti minuman keras. Celakanya, dua botol Hattens Wine itu dia temukan di kamar Adica.

Abi Assegaf terlalu pintar untuk dibodohi. Mana mungkin ia percaya jika anak angkatnya minum alkohol? Dari rekaman CCTV, terungkaplah siapa pelakunya. Tak disangka, Deddy dan Sasmitalah yang menaruh benda-benda laknat itu. Awalnya mereka mendatangi rumah mewah di pinggir pantai seolah kunjungan biasa. Mereka datang ketika Abi Assegaf menemani Adica di rumah sakit. Lantaran sudah terbiasa, mereka dibiarkan para pelayan naik ke lantai atas. Saat itulah mereka berdua menebar kelicikan.

Sedih merayapi hati. Abi Assegaf kecewa, kecewa sekali pada dua teman lamanya. Beraninya Deddy dan Sasmita menggunakan minuman beralkohol untuk memfitnah orang lain. Biarlah putra angkatnya itu tak usah tahu ada dua botol minuman haram yang diselundupkan ke kamarnya. Abi Assegaf sangat pintar menjaga rahasia. Dengan sedih, dibuangnya botol-botol berisi penuh itu ke tempat sampah. Kelakuan Deddy dan Sasmita tak bisa dibiarkan.

"Aku tak bisa biarkan mereka terus menghinamu, Calvin." kata Silvi geram.

Acara pematerian dari para alumni putri kampus telah usai. Kini, Calvin dan Silvi duduk bersisian di sebuah cafe bernuansa vintage. Sesal menyergap hati Silvi. Tak seharusnya ia memaksakan diri membawa Calvin keluar dari rumah sakit untuk menemaninya. Andai saja ia mendengarkan kata-kata Dokter Tian.

"Bukan hinaan, Silvi. Tapi kenyataan. Aku memang sakit...aku memang tidak berguna." kata Calvin jujur dan apa adanya.

Mendung menggumpal di mata biru Silvi. Melawan kesedihan, dilepasnya genggaman tangan Calvin. Ia naik ke atas panggung dan mulai bermain piano. Tatapannya terfokus pada Calvin selama membawakan lagu.

Lagu itu dialunkan dengan lembut oleh senar-senar biola. Musiknya teramat lembut, menyentuh ke titik nadir di dalam hati. Tanpa sadar, Abi Assegaf mendorong pintu kaca, kakinya membawanya meninggalkan balkon.

Abi Assegaf bernyanyi lembut. Silvi menyanyikan lirik dengan merdu. Di atas tempat tidurnya, dalam rasa sakit, Adica bermain biola. Bibir Calvin bergerak, menggumamkan lirik tanpa suara.


Tenanglah, kekasihku

Ku tahu hatimu menangis

Beranilah dan percaya

Semua ini pasti berlalu

Meski takkan mudah

Namun kau takkan sendiri

Ku ada di sini

Untukmu aku akan bertahan

Dalam gelap takkan kutinggalkan

Engkaulah teman sejati kasihku

Di setiap hariku

Untuk hatimu ku kan bertahan

Sebentuk hati yang kunantikan

Hanya kau dan aku yang tahu

Arti cinta yang telah kita punya (Afgan-Untukmu Aku Bertahan).

Suara barithon Abi Assegaf yang lembut begitu menyentuh. Dua bulir kristal bening jatuh di pipi Silvi saat menyelesaikan lagunya. Biola Adica mengalunkan nada terakhir dengan getaran pilu. Pemuda tampan berkacamata itu ingin bangkit dari kursi roda, namun kondisinya terlalu lemah. Rasa bersalah menampar hati Calvin.

Abi Assegaf berlutut di karpet. Dipeluknya Adica erat. Ia rasakan hangat tubuh itu mengalir ke tubuhnya.

Silvi rebah di pelukan Calvin. Air mata berkilauan di iris birunya. Kedua tangan Calvin membelai lembut rambut gadis itu.

"Aku tak mau bergantung pada obat, Abi. Bermain biola menjadi terapi untukku."

"I see. Tapi mereka sudah kelewatan, Calvin."

"Baiklah, anakku...cinta, nanti kita main biola sama-sama ya."

"Iya, Silvi. Aku..."

"Sangat mencintaimu, anakku. Abi takkan membiarkan siapa pun melukaimu."

**     

Selimut putih ia benai. Dengan lembut, Abi Assegaf mencium kening Adica. Kecupan sehangat dan selembut yang diberikannya pada Syifa.

"Salam untuk Pak Deddy dan Pak Sasmita. Take care, Abi." ujar Adica.

Mendengar itu, Abi Assegaf terenyak. Betapa baiknya Adica. Ia tetap peduli pada orang-orang yang tidak menyukainya. Ia mengangguk, membereskan obat-obatan, dan berjalan keluar kamar.

Terpaksa ia harus meninggalkan Adica sejenak. Ada urusan lain yang dibereskan sekarang juga. Jarum-jarum jam berlarian, menunjuk tepat ke angka sembilan. Langit pagi berawan, senada dengan suasana hati pimpinan Refrain Radio itu.

Tiba di studio Refrain Radio, Abi Assegaf disambut hangat seperti biasa. Para karyawan merasa rindu. Sejak Adica sakit, Abi Assegaf makin jarang ke kantor. Kecuali untuk siaran dan rapat penting terkait rencana ekspansi perusahaan.

Lama Abi Assegaf merenung di ruang kerjanya. Ia bolak-balik lembaran dokumen. Suara radio yang diset pada volume rendah menjadi latar belakang. Layar komputer berpendar, menampilkan laman media sosial. Bagaimana mungkin seorang pemimpin perusahaan justru membuka sosmed saat jam kerja?

Tidak, ini pun bagian dari pekerjaan. Kursor dinaik-turunkannya. Menelusuri dan membaca tweets dari akun @ryantamadeddy. Merasa cukup, ia ketik nama akun lain di kolom search. Terbukalah profil Sasmita dua menit berikutnya.

Scroll dan stalking, hal itu ia ulangi lagi. Tweets-tweets aneh tentang kritik pada pemerintah bercampur dengan masalah keluarga. Sepotong hati lembut itu mulai menyelami, memahami, dan merasakan. Sejurus kemudian, Abi Assegaf meraih telepon. Ia menyuruh sekretarisnya memanggil dua orang.

Lima menit berselang, Deddy dan Sasmita datang. Kelicikan tersembunyi di balik keramahan. Abi Assegaf pun bersikap normal, tak menampakkan kekecewaan.

"Deddy, Sasmita, maaf aku sudah lama tidak ke kantor. Aku rindu kalian...juga Refrain Radio." Abi Assegaf angkat bicara.

Keduanya mengangguk, memasang senyum palsu. Abi Assegaf menghela nafas, lalu melanjutkan.

"Anakku sakit. Mudah-mudahan kalian mengerti."

Tubuh Deddy dan Sasmita menegang. Mereka waswas, menunggu kelanjutannya. Namun, tak nampak segurat pun amarah di wajah teduh khas Timur Tengah itu.

"Kemarin, kutemukan botol minuman keras di kamar Adica. Aku tahu, itu bukan milik anakku. Anak-anakku, Adica dan Syifa, tak pernah minum alkohol. Mereka bersih. Ada yang menyusupkannya. Menurut kalian, siapa yang melakukannya?"

Nada suara Abi Assegaf teramat lembut. Lembut, lembut sekali tanpa vibrasi kemarahan. Deddy dan Sasmita gentar. Mereka bergerak gelisah di kursi.

"Kami tidak tahu." sahut Deddy akhirnya.

"Bisa saja memang dia yang meminumnya." sanggah Sasmita, ragu bercampur takut.

"Deddy, Sasmita, aku sedih. Anakku sedang sakit, tapi ia malah difitnah." desah Abi Assegaf, ekspresi wajahnya mencerminkan kesedihan mendalam.

Lembutnya Abi Assegaf sukses menggores hati Deddy dan Sasmita. Mereka mampu membaca kesedihan seorang ayah yang anaknya terzhalimi. Kelembutan itu berbalut kesedihan.

"Ah, sudahlah. Bagaimana dengan kalian? Kuperhatikan, keluarga kalian sedang kurang baik..."

Kalimat terakhir menghentak kesadaran dua penyiar senior itu. Banyak pikiran dan sibuk merawat anak yang sakit, Abi Assegaf ternyata masih memperhatikan orang lain. Tak sempat mereka menjawab, Abi Assegaf memperlihatkan iPhonenya.

"Sudah kutransfer seratus juta ke rekeningmu, Deddy. Semoga istrimu cepat sembuh."

Deddy terbelalak. Tersenyum lembut, Abi Assegaf membuka iPhone satunya. Ia sodorkan pada Sasmita.

"Mudah-mudahan kuliah anakmu lancar, Sasmita. Salam untuk Kania."

Sasmita tertegun mendengarnya. Tubuhnya gemetar melihat nominal yang tertera di layar.

Dering telepon menyela kecanggungan. Selama Abi Assegaf menerima telepon, Deddy dan Sasmita berkomunikasi tanpa kata. Telepati berebut bicara. Hati mereka diaduk-aduk rasa bersalah.

Lihatlah, lembut dan putihnya hati Assegaf. Ia hadapi fitnah dan kelicikan dengan kelembutan. Dicontohkannya kelembutan dalam dunia kerja. Kasih dan kelembutan, itulah penawar kelicikan politik kantor ala Zaki Assegaf.

**    

Calvin terpesona dengan cerita pria berlesung pipi itu. Luar biasa caranya menghadapi dua karyawan culas.

"Abi hebat..." puji pemuda orientalis itu tulus.

Abi Assegaf tersenyum menawan. "Tolong jangan beri tahu Adica ya."

"Iya, Abi. Abi Assegaf memang ayah yang hebat. Bisa melindungi anak sekaligus menghadapi keculasan karyawan-karyawan itu."

"Ehm...jadi, Abi Assegaf lebih hebat dari Papa, ya?"

Tuan Effendi meletakkan koran paginya. Ia bangkit dari sofa, berjalan ke dekat ranjang putih. Sedikit paksa mendorong minggir Abi Assegaf.

"Papa Effendi dan Abi Assegaf sama-sama orang hebat." jawab Calvin adil.

Sejuk rasanya mendengar seorang anak memuji ayahnya. Ayah yang ideal adalah sosok idola di mata anak. Ia haruslah memotivasi, menginspirasi, dan mengajarkan nilai kebaikan untuk anaknya.

Kecemburuan berdenyut menyakitkan di hati Tuan Effendi. Entah mengapa, ia cemburu sekali pada pria tinggi berjas dark blue di sampingnya ini. Kehadiran Abi Assegaf membuatnya insecured. Dominasinya sebagai sosok ayah yang baik tergeser perlahan. Lihatlah, bahkan kini pesona Zaki Assegaf telah memikat Calvin Wan.

**    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun