Sejuknya pendingin udara tak meredakan keresahan hati. Berulang kali Abi Assegaf melirik Guess di pergelangan tangannya, amat berharap durasi siarannya cepat usai. Jangan heran, pemimpin perusahaan seperti dirinya sangat tepat waktu soal jadwal. Takkan pernah Abi Assegaf mengingkari jadwal yang telah dibuatnya sendiri.
Kaca-kaca jendela berembun. Di dalam studio berlapis kaca serupa akuarium itu, pemandangan di luar sana terlihat jelas. Ruas jalan raya sekitar studio dipadati kendaraan. Selesai jam kantor, riskan jalanan lengang. Klakson bersahutan, mengacak-acak mood para pengguna jalan. Tenang saja, ruang siaran kedap suara. Pekaknya suara-suara bernada emosi di jalanan takkan terdengar.
"97.6 FM Refrain, Brilian and Inspiratif. Pendengar, saya ucapkan selamat sore untuk yang baru saja bergabung dan menemukan frekuensi Refrain. Bagi yang sedang berkendara, atau yang baru saja pulang kantor, tetap hati-hati dan jaga keselamatan. Pendengar, saat jam kantor selesai jadi waktu-waktu paling padat ya...sambil menunggu kemacetan selesai, tetap di...Refrain. Sampai pukul 17.30, sajian informasi dan musik pilihan akan menemani Anda. Masih bersama saya, Zaki Assegaf."
Rintik hujan menetes. Kedua tangan Abi Assegaf terangkat, wajah tampannya tengadah. Ia khusyuk berdoa. Saat hujan, salah satu waktu mustajabnya doa.
Banyak rekan bisnisnya bertanya-tanya. Mengapa komisaris utama Assegaf Group, yang sudah punya sejumlah lini bisnis, mau-maunya terikat lima jam jadwal siaran? Apa pun jawaban takkan memuaskan mereka. Sederhana saja: kecintaan profesi penyiar. Kesuksesan bisnis tak melunturkan cinta Abi Assegaf di dunia broadcasting.
Waktu merambat pelan. Gelisah, Abi Assegaf mengecek iPhonenya. Kembali terbaca pesan Whatsapp super panjang dari putri tunggalnya, lengkap dengan emoji tangis. Hati Abi Assegaf terasa pedih. Dia tak rela anak lelakinya didiskriminasi. Perkara kecil, namun dapat membesar, merugikan, dan melukai.
Publik tahu. Zaki Assegaf sosok ayah berhati lembut. Family man sejati. Ia sangat menyayangi keluarganya. Cinta Abi Assegaf pada keluarga dan anak-anaknya melebihi cinta pada dirinya sendiri. Arlita, Asyifa Assegaf, dan Adica Wirawan Assegaf adalah segalanya. Praktis ia akan sedih sekali bila mereka bertiga disakiti. Diskriminatif adalah salah satu bentuk dari melukai.
Sejak dulu, Abi Assegaf sangat menentang diskriminasi. Ia juga mempropagandakan anti diskriminasi di Refrain Radio. Diskriminasi dilawan dengan kasih dan kelembutan, begitu menurut ayah satu putri ini. Seperti virus HIV, diskriminasi sulit sekali dibasmi sampai ke akar-akarnya. Diskriminasi ibarat monster berkepala banyak. Tiap kali satu kepala ditebas, ia akan tumbuh kepala lebih banyak lagi.
Maghrib tiba, dingin dan suram. Abi Assegaf memutar beberapa lagu. Ia bangkit, menghadap kiblat, lalu shalat. Menjaga wudhu sudah menjadi kebiasaan Abi Assegaf. Ia pun tak kenal sarung, kopiah, dan peci. Abi Assegaf lebih memilih memakai jas.
Lama ia berdoa. Meminta keadilan dari Yang Maha Adil untuk putranya yang sedang sakit. Abi Assegaf tak bisa, sungguh tak bisa menyaksikan anaknya didiskriminasi. Andai saja ia ada di kampus saat itu. Anak lelakinya takkan diperlakukan diskriminatif.
"Ya, Allah, mengapa ada yang begitu tega mendiskriminasi orang sakit? Kulakukan segala cara terbaik untuk menjaganya, merawatnya, mengobatinya sampai sembuh. Tapi, mengapa di luar sana ada yang melukai hatinya?"