Alhamdulillah mereka sudah ditolong, bisik hati kecilnya. Semoga luka-lukanya tidak parah. Seraya menunggu kemacetan terurai, Abi Assegaf mengecek notifikasi.
"Tuan Muda beberapa kali muntah hari ini. Tuan Muda juga tidak mau makan. Tapi, saat jam minum obat saya selalu mendengar suara biola dari arah balkon. Pelayan lainnya melihat Tuan Muda mimisan tadi siang."
Laporan dari pelayannya sungguh mencemaskan. Pria blasteran Arab-Indonesia itu mengusap wajah letihnya. Ya, Allah, mengapa cobaan seakan datang terus-menerus untuk anggota keluarga barunya?
Jika bisa memilih, Abi Assegaf lebih memilih dirinyalah yang harus dikemoterapi. Lebih baik dia saja yang merasakan sakit, mual, dingin, dan kerontokan rambut itu. Tak tahan menenggelamkan diri dalam kekalutan, digeser-gesernya trackpad. Mencari kontak seseorang.
"Arlita...aku butuh kamu." desah Abi Assegaf.
Arlita menghela nafas. Menatap wajah tampan mantan suaminya di layar.
"Ada apa lagi, Assegaf?"
"Adica sakit..."
"Oh, anak itu lagi. Sakit apa dia?"
Hanya pada Arlita ia curahkan beban hidupnya. Sosok ayah, pemimpin perusahaan, dan penyiar berhati lembut tapi tegar itu rapuh di bawah tatapan teduh Arlita. Wanita mualaf yang teramat ia cintai.
"Masya Allah...diusir dari lift? Padahal dia sakit..." Arlita bergumam lirih.