"Maaf..." kata Abi Assegaf, buru-buru menahan langkahnya.
"Tidak apa-apa. Anda siapa?" tanya pria baya berpenampilan rapi itu, tak lain Tuan Effendi.
"Saya Zaki Assegaf, keluarga pasien di ruangan itu."
Alis Tuan Effendi bertaut. Calvin mengerutkan keningnya.
"Keluarga? Bukankah sejak kemarin Adica datang, dirawat, dan mengurus semuanya sendirian?"
Sesaat Abi Assegaf nampak kikuk. Rasa posesif dan kasih sayang berlebih mendorongnya.
"Saya ayahnya."
Di luar dugaan, Abi Assegaf berani berbohong. Tanpa sengaja pria Arab-Indonesia itu menyentuh hidungnya saat berkata begitu. Salah satu gesture orang yang sedang berbohong adalah gugup dan ragu, hingga tak sadar menyentuh hidungnya dan menghindari pandang saat bicara.
Sayangnya, Calvin dan Tuan Effendi terlalu baik. Terlalu baik bukan berarti bodoh. Mereka berdua antara percaya dan tidak. Agak ganjil bila pria tinggi berhidung mancung di hadapan mereka ini mengaku-ngaku ayah Adica. Pertama, ayah mana yang membiarkan anaknya terlantar di rumah sakit dikelilingi mayat? Kedua, tipikal wajah Adica dan Abi Assegaf tidak mirip. Ketiga, Syifa bahkan jatuh cinta dengan Adica. Bagaimana mungkin ia berani jatuh cinta jika memang mereka saudara satu ayah? Incest bukanlah pilihan baik.
Meski setengah tak percaya, mereka biarkan saja Abi Assegaf masuk. Mengurungkan niat mereka sendiri untuk memberikan sebentuk perhatian. Intuisi kewaspadaan mereka tetap aktif.
** Â Â