Dear Calvin,
Datang ya, ke pesta ulang tahunku. Spesial, karena pestanya disiapkan sendiri oleh Abi. Biasanya kan Umi...aku undang Revan dan Silvi juga. Semoga kamu cukup sehat untuk bisa datang.
Warm regards,
Asyifa Assegaf
Undangan virtual via e-mail itulah yang membawa Calvin ke depan pintu ballroom hotel malam ini. Walau kondisinya kurang sehat, ia tetap datang demi teman baiknya. Revan dan Silvi menilainya terlalu memaksakan diri.
"Kalau masih sakit, harusnya kamu tak usah datang. Biar kami saja." kata Revan setengah gusar begitu melihat Calvin turun dari mobil.
"Syifa teman baikku, Revan. Aku hargai tiap undangannya." Calvin berkilah.
"Kamu baik sekali, Calvin. Selalu menghargai orang lain." puji Silvi tulus.
Pandangan mereka bertemu. Dua hati berdegup tanpa suara. Diam-diam saling mengagumi. Malam ini, Calvin semakin tampan dalam balutan tuxedo hitam. Little black dress yang dikenakan Silvi senada dengan tuxedonya. Mereka serasi, seolah telah saling berjanji untuk mengenakan pakaian berwarna sama.
Revan, seperti biasa. Tampil dengan jas warna favoritnya: biru. Pemuda blasteran Minahasa-Portugis-Turki itu menyukai warna biru karena sesuai dengan warna matanya.
"Hai. On time ya...as usual."
Sesosok gadis cantik bergaun baby pink datang mendekat. Heels setinggi sembilan senti di kakinya tak menghalanginya bergerak lincah. Riasan make up minimalis, hairpiece berformat kepingan salju, dan senyuman manis melengkapi penampilannya.
"Nah, inilah objek kita...yang berulang tahun. Kamu kan harusnya di dalam. Siap menyambut tamu dengan anggun. Kok malah keluar?" Silvi mencium kedua pipi gadis itu.
"Ini aku juga lagi menyambut tamu dengan anggun. Aku keluar ballroom kan buat kalian. Kalian tamu spesialku. Masuk yuk."
Mereka berempat melangkah masuk ke ballroom. Silvi dan Revan melirik waswas ke arah Calvin, memastikannya kuat berjalan sendiri tanpa dibantu. Malaikat tampan bermata sipit itu nampak sedikit lebih kuat. Langkahnya ringan, dan ia tidak terjatuh. Menghargai orang lain Tuhan memberi kekuatan untuk mereka yang ingin berbuat baik.
Dari pintu kaca, terlihat Honda Jazz merah berhenti. Petugas valley segera mengambil alih. Dua orang laki-laki beda usia turun dari mobil. Satu laki-laki berwajah Timur Tengah dan berlesung pipi, satunya lagi lelaki yang jauh lebih muda dengan wajah Chinese yang khas. Keduanya memakai tuxedo putih.
"Abi!" Gadis bergaun pink itu berseru tertahan. Lalu ia berlari meninggalkan Calvin, Revan, dan Silvi.
"Syifa..." kejar Silvi. Revan dan Calvin bergegas menyusul.
Kaki jenjang Syifa bergerak cepat. Kedua lengannya terentang. Belum sempat ia memeluk Abinya, Syifa didahului figur wanita bergaun merah. Wanita awal 50-an dengan tubuh tinggi itu berdiri di depan Abi Assegaf.
"Arlita?" lirih Abi Assegaf, menyebut nama mantan istrinya.
** Â Â Â
Namun bila kau ingin sendiri
Cepat-cepatlah sampaikan kepadaku
Agar ku tak berharap
Dan buat kau bersedih
Bila nanti saatnya telah tiba
Kuingin kau menjadi istriku
Berjalan bersamamu dalam terik dan hujan
Berlarian kesana-kemari dan tertawa
Namun bila saat berpisah telah tiba
Izinkan ku menjaga dirimu
Berdua bersamamu berpelukan di ujung waktu
Sudilah kau temani diriku
Sudilah kautemani diriku
Sudilah kau menjadi istriku (Payung Teduh-Akad).
Pertemuan menggetarkan. Debur-debur cinta menggetarkan dada Abi Assegaf. Abi Assegaf tersenyum, lesung pipinya terlihat menawan. Wajah Arlita bersemu, buru-buru ia berpaling. Gengsi memperlihatkan rona di hadapan mantan suaminya.
"Ummi..." desah Syifa dari kejauhan, menggigiti kuku jarinya gemas.
Tahu diri, Adica mundur menjauh. Ia melangkah mundur begitu cepat, sampai-sampai tak menyadari ada gadis cantik di belakangnya. Nyaris saja Adica dan Syifa bertabrakan. Skenario Tuhan begitu cantik. Keduanya bertemu pandang. Adica Wirawan dan Asyifa Assegaf bertemu, untuk kali pertama.
Getar-getar cinta menebar di sepanjang ballroom. Calvin dapat merasakannya. Dua pertemuan menggetarkan. Walaupun tak kenal Abi Assegaf, Arlita, dan Adica, Calvin mampu memahami gelora rasa di hati mereka. Rasa yang sama, setiap kali ia berada di dekat Silvi.
"Wow...pestanya belum mulai, tapi sudah terasa penuh cinta ya." goda Revan.
"Jangan-jangan pestanya berubah jadi akad nikah." Silvi menyahuti, tersenyum geli.
Kembali ke Abi Assegaf, pria yang tak lagi muda itu gugup luar biasa. Ini bukan pesta ulang tahun biasa. Sengaja ia siapkan pesta mewah demi Syifa dan rencana pertemuan.
"Arlita...aku masih menyayangimu. Aku juga sangat menyayangi putri kita. Maukah kau kembali padaku?" tanya Abi Assegaf, berlutut di depan Kirana.
Wajah ibu kandung Syifa itu dingin tanpa ekspresi. Rona yang bersemi telah hilang. Dengan angkuh, Arlita bertolak pinggang dan berkata, "Mau rujuk denganku? Tidak semudah itu, Assegaf."
Hancur sudah kesan manis itu. Kesan manis yang susah payah direncanakan. Rusaklah nuansa cinta di pesta ulang tahun Syifa.
Abi Assegaf tertunduk. Revan memelototi Arlita. Silvi mengepalkan tangannya, gemas. Raut wajah Calvin tetap tenang, namun hatinya meronta tak setuju. Bahagia di hati Syifa lesap. Bola matanya berawan. Fokus perhatian Adica terarah pada Syifa. Ia menangkap kesedihan dan kekecewaan di mata gadis itu. Entah, rasa iba menyentuh jiwa. Sorot mata Syifa seperti mata gadis kecil yang bersedih: innocent. Adica tak tahan memandangnya.
"Ummi...kenapa Ummi begitu sama Abi?" bisik Syifa dengan suara bergetar.
Sejurus kemudian, Syifa membalikkan tubuh dan melangkah cepat ke halaman belakang hotel. Abi Assegaf dan Arlita tersadar, namun terlambat. Adica yang paling cepat tanggap. Ia mengejar Syifa tanpa banyak bicara. Calvin, Revan, dan Silvi lekat mengikuti. Mana mungkin mereka biarkan Syifa sendirian di malam kebahagiaannya?
** Â Â Â
Dinginnya rerumputan menyerbu telapak kaki. Syifa melepas sepatu, lalu duduk di pinggir kolam renang. Tak ia sangka reaksi Umminya sedingin itu. Sungguh, ia masih berharap Abi Assegaf akan rujuk lagi dengan Arlita.
Bukan hanya rumput yang menebarkan hawa dingin di telapak kaki. Angin yang berembus pun seolah tak mau kalah. Tubuh Syifa gemetar kedinginan. Tapi, ia tak peeduli. Dinginnya malam tak sebanding dengan kesedihan.
Sesuatu yang hangat tersampir di bahunya. Refleks Syifa berbalik. Adica memakaikan jas ke tubuhnya.
"Kamu kedinginan...butuh sesuatu yang lebih hangat."
Satu kalimat saja. Sepotong kalimat itu sukses menciptakan desir hangat di hati Syifa. Sedetik berikutnya, Adica duduk di samping Syifa.
"Aku sering mendengar suaramu di Refrain Radio, kau penyiar kesayangan Abi." Syifa bergumam pelan, memainkan jemarinya.
"Iya. Mungkin Abimu sudah cerita."
" Abiku Abimu juga. Abi kita semua."
Kembali keduanya saling tatap. Desiran di hati Syifa tak hilang juga. Pemuda berwajah pucat namun tampan di sisinya ini, membuatnya nyaman. Wajah pucat, mata sipit, dan pembawaannya, mengapa sangat mirip Calvin?
"Kamu sudah sembuh...Adica?" Syifa ragu-ragu menyebut nama pemuda itu.
"Menurutmu?"
"Belum. Kamu masih pucat."
"Dari mana kamu tahu kalau aku sakit?"
"Dari Abi."
"Harusnya hari ini aku ambil hasil tes lab. Tapi..."
"Tapi kenapa? Kau takut? Kau takut sakit kanker darah seperti Calvin, teman baikku?"
Adica mengangguk. Disambuti senyuman tulus Syifa.
"Jangan takut. Cobalah berpikir positif. Siapa tahu, hasilnya baik-baik saja."
Ya, Allah, mengapa gadis ini begitu polos? Ia jujur, berani, tulus, dan peduli. Adica menyukainya.
Beningnya air kolam memantulkan bayangan mereka. Dua sosok yang meretas jaring cinta. Dan...voilet, lihatlah apa yang dilakukan Adica untuk menghibur Syifa. Ia memainkan biola. Lagu klasik dan lagu-lagu cinta dibawakannya untuk gadis itu. Langit tahu, langit mencatatnya. Malam ini, putra Michael Wirawan dan putri Abi Assegaf saling jatuh cinta.
Derap langkah tiga pasang kaki tak mengusik mereka. Dunia seolah hanya milik Adica dan Syifa. Mereka terlena, lupa menyadari sepasang mata sipit dan dua pasang mata biru lekat memperhatikan dari jauh.
"Oh my God...Syifa jatuh cinta!" desis Silvi, nyaris melompat kegirangan dari tempat persembunyiannya.
"Are you sure?" Revan tersenyum pada adiknya.
"Yups. Kelihatan sekali teman kita itu lagi falling in love." Bukan Silvi, tetapi Calvinlah yang menjawab.
Revan mendesah. Kedua tangannya terlipat di depan dada.
"Calvin sama Silvi, Syifa sama...siapa itu? Cowok oriental yang mirip Calvin? Nah aku, sama siapa?"
"Sama Calisa. Gimana sih kamu?" Silvi mengingatkan.
Mata biru Revan menghujam langit. Diam-diam memohon jalan keluar. Mencintai gadis dari keluarga yang sangat menghargai adat leluhur dan agama, betapa sulitnya.
** Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H