Wajah ibu kandung Syifa itu dingin tanpa ekspresi. Rona yang bersemi telah hilang. Dengan angkuh, Arlita bertolak pinggang dan berkata, "Mau rujuk denganku? Tidak semudah itu, Assegaf."
Hancur sudah kesan manis itu. Kesan manis yang susah payah direncanakan. Rusaklah nuansa cinta di pesta ulang tahun Syifa.
Abi Assegaf tertunduk. Revan memelototi Arlita. Silvi mengepalkan tangannya, gemas. Raut wajah Calvin tetap tenang, namun hatinya meronta tak setuju. Bahagia di hati Syifa lesap. Bola matanya berawan. Fokus perhatian Adica terarah pada Syifa. Ia menangkap kesedihan dan kekecewaan di mata gadis itu. Entah, rasa iba menyentuh jiwa. Sorot mata Syifa seperti mata gadis kecil yang bersedih: innocent. Adica tak tahan memandangnya.
"Ummi...kenapa Ummi begitu sama Abi?" bisik Syifa dengan suara bergetar.
Sejurus kemudian, Syifa membalikkan tubuh dan melangkah cepat ke halaman belakang hotel. Abi Assegaf dan Arlita tersadar, namun terlambat. Adica yang paling cepat tanggap. Ia mengejar Syifa tanpa banyak bicara. Calvin, Revan, dan Silvi lekat mengikuti. Mana mungkin mereka biarkan Syifa sendirian di malam kebahagiaannya?
** Â Â Â
Dinginnya rerumputan menyerbu telapak kaki. Syifa melepas sepatu, lalu duduk di pinggir kolam renang. Tak ia sangka reaksi Umminya sedingin itu. Sungguh, ia masih berharap Abi Assegaf akan rujuk lagi dengan Arlita.
Bukan hanya rumput yang menebarkan hawa dingin di telapak kaki. Angin yang berembus pun seolah tak mau kalah. Tubuh Syifa gemetar kedinginan. Tapi, ia tak peeduli. Dinginnya malam tak sebanding dengan kesedihan.
Sesuatu yang hangat tersampir di bahunya. Refleks Syifa berbalik. Adica memakaikan jas ke tubuhnya.
"Kamu kedinginan...butuh sesuatu yang lebih hangat."
Satu kalimat saja. Sepotong kalimat itu sukses menciptakan desir hangat di hati Syifa. Sedetik berikutnya, Adica duduk di samping Syifa.