"Mengapa shalat di sini, Nak?" tanya pria perlente itu, nadanya bersahabat.
"Saya butuh ketenangan. Semua orang tak mendukung pertobatan saya," jawab Adica datar.
Alis si pria terangkat. "Pertobatan? Apa yang terjadi?"
"Saya baru keluar dari penjara..."
"Keluar dari penjara? Orang berwajah setampan dirimu pernah masuk penjara?" sela pria itu heran.
"Saya dipenjara karena membunuh orang. Tak sengaja sebenarnya, kecelakaan mobil. Saya menabrak lima orang sampai mati dengan mobil saya..."
"Ya, Allah...tampangmu terlalu baik untuk jadi pembunuh, Nak. Terlalu lembut, terlalu teduh, terlalu alim. Wajahmu mengingatkan saya pada anak saya. Namanya Calvin. Dia setampan dirimu..."
Adica tertunduk. Apa gunanya ketampanan fisik bila citra rusak?
Sejurus kemudian, pria bertubuh agak gemuk dan berkulit putih itu mengulurkan kartu nama. Ragu, Adica menerimanya.
"Kamu tak pantas berkeliaran sendirian di bukit ini. Kalau kamu butuh sesuatu, hubungi saya. Nama saya Effendi. Saya akan membantumu sebisanya. Tuhan tidak melihat rupa dan hartamu, tapi Tuhan melihat hatimu."
Kartu nama di tangan Adica bergetar. Tuan Effendi berjalan pergi. Apakah ini petunjuk dari langit? Apakah ini pertanda kalau dirinya tak sendiri?