"Apa...apa maksudmu?" tanya Calisa, tenggorokannya tercekat.
"Datanglah ke rumah duka, Calisa. Aku membutuhkanmu. Aku butuh kekuatanmu sebelum memandikan dan mengimami shalat jenazah ayahku. Hanya dengan tanganku, ingin kurawat jenazah Ayah untuk terakhir kali. Kumohon, Calisa."
Ada nada memohon di situ. Ada luka dan kesedihan. Ya, Allah, belum pernah Anton begitu hancur dan putus asa.
Dilema mengepung hati. Jujur dengan dirinya sendiri, Calisa ingin sekali berada di samping sepupunya. Menguatkan calon pewaris jaringan restoran makanan Nusantara di kota budaya itu, memeluknya, atau sekedar menggenggam tangan dan memberinya kata motivasi. Sungguh, ingin sekali ia lakukan. Di sisi lain, akan ada hati yang terluka bila dia melakukan itu. Sepotong hati malaikat yang harus dia jaga.
"Calisa, bisakah kau datang...?" pinta Anton untuk ketiga kalinya.
Perang batin berkecamuk. Dua wajah melintas di benaknya. Seraut wajah setengah bule yang rupawan, seraut wajah orientalis dengan mata sipit bening meneduhkan yang tak kalah tampan. Anton dan Calvin, dua pria istimewa dalam hidup Calisa.
"Tidak." kata Calisa cepat.
"Apa?"
"Aku tidak bisa datang."
"Kenapa?"
"Aku akan melukai hati Calvin bila menemuimu."