"Silvi, berjanjilah padaku untuk berhenti melukai dirimu sendiri. Tetaplah jadi Princess Silvi yang tegar setelah aku pergi."
Setelah mengucap tiga kata terakhir, Calvin kembali batuk darah. Membuat kecemasan Silvi menggelembung. Tatapan menenangkan Calvin layangkan pada wanita perekat jiwanya.
"Jangan terlalu banyak khawatir, Silvi. Aku sedih bila kamu terus mengkhawatirkanku." Calvin berujar lembut.
Ketika Silvi tak juga lepas dari kekhawatiran, Calvin mengeluarkan sesuatu dari tas pianonya. Bungkusan besar berisi cotton candy merah muda. Dibukanya bungkus plastik itu. Lembut disuapinya Silvi dengan permen kapas.
"Rasa manis akan memberi sepercik ketenangan," jelas Calvin, melanjutkan lagi suapannya.
Silvi menerima tiap suapan dengan hati berdesir. Ditatapnya mata Calvin dalam-dalam. Berusaha mencari kebohongan dan niat jahat. Tidak, sama sekali tak ditemukannya. Kelembutan, ya hanya kelembutan yang ia dapatkan dari mata sipit itu.
** Â Â
Larut dalam kenangan, Silvi masih terus beernyanyi. Koridor rumah sakit menjadi saksi bisu kesedihannya.
Ia rindu Calvin, sangat rindu. Kini, Calvin tak sekuat dulu. Jangankan menyuapinya cotton candy dan menyanyi, bernafas pun harus dibantu alat medis. Mungkinkah Calvin telah sampai di ujung waktu?
"Calvin, jangan tinggalkan aku..." Silvi memohon, suaranya bergetar.
"Aku masih butuh kamu..."