Mengingat kemungkinan buruk itu, tubuh Silvi dijalari rasa dingin. Cepat ia atur pikirannya. Mengatur pikiran, seperti nasihat Calvin.
"Aturlah pikiranmu dari hal negatif, Silvi. Simpan kenangan-kenangan burukmu di satu pintu, lalu buang kuncinya." Begitu saran Calvin di awal perkenalan mereka.
Mata Silvi terpejam. Cairan hangat kembali hadir. Dihelanya nafas dalam, dilangkahkannya kaki ke depan pintu ICU. Seperti ada bisikan lembut di hatinya, bisikan yang menyuruhnya bernyanyi. Terdorong kekuatan dari alam bawah sadar, Silvi menyanyikan lagu kenangannya dengan Calvin.
"Bawalah pergi cintaku...ajak kemana pun kau mau...jadikan temanmu, temanmu paling kaucinta."
Suara Silvi mengalun merdu. Kuatnya cengkeraman kesedihan tak mengurangi kualitas suaranya. Ia bernyanyi, terus bernyanyi. Mengadukan kepedihannya lewat lagu. Benih kecil harapan tumbuh di hati. Harapan Calvin akan membalas nyanyiannya.
Dulu, Silvi pun tak tahu lagu itu. Calvinlah yang pertama kali memperkenalkan lagu itu padanya. Masih segar dalam ingatan Silvi ketika kali pertama Calvin menyanyikan lagu sedih itu di depannya.
** Â Â
Taman kota menjadi tempat pelariannya. Melompati pagar berduri, Silvi berlari melintasi area berumput. Ia melempar diri ke bangku taman bercat oranye. Satu tangannya menekap wajah, menampung laju air mata.
"Air matamu terlalu berharga,"
Sebuah suara bass menegurnya lembut. Silvi tak menengadah. Lama-kelamaan, hidungnya mencium wangi Blue Seduction Antonio Banderas. Seorang pria orientalis dengan jas hitam Versace duduk di sampingnya.
"Untuk apa menangis?" tanya pria itu halus. Tatapannya terhujam ke langit biru.