Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Selingkuh Hati Malaikat Tampan] Katakan Tidak

19 September 2018   06:00 Diperbarui: 19 September 2018   06:15 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pukul tujuh, seharusnya ini belum terlalu malam bagi seorang wanita untuk bepergian. Tak apalah, pergi sendirian dengan mobil pribadi. Wanita secantik dan setangguh Silvi bisa melakukannya.

Tanpa supir, ia kemudikan Bugatti Veyron hitam menuruni bukit. Taburan bintang di langit malam seperti berlian-berlian yang menghiasi black dress mahal yang dikenakan supermodel dunia. Bicara supermodel, Silvi teringat dirinya sendiri.

Dulu, ia seorang model. Tak hanya itu, ia juga therapyst. Mata batin dan kemampuannya melihat jauh ke depan membuat sejumlah klien mempercayakan masalah padanya. Silvi spiritualis muda dan pegiat modeling yang rupawan.

Banyak yang jatuh hati padanya, termasuk para klien. Sampai akhirnya, datanglah hari naas itu. Hari ketika seorang klien memintanya one night stand. Jelas saja Silvi tak mau. Terlebih, ia sudah tahu track record sang klien. Kliennya itu seorang sadomasokis. Ia sadis dan kejam di ranjang. Para wanita akan diingatkan film Fifty Shades of Grey bila berhadapan dengannya.

Sejak saat itu, Silvi trauma. Dia mengurangi frekuensinya membantu orang lain lewat terapi dan spiritual. Silvi berubah total: menjadi dingin dan tertutup. Sering kali dia melukai dirinya sendiri sebagai pelampiasan.

Calvin datang bagai malaikat. Dengan lembut, dibantunya Silvi keluar dari masa-masa tergelap. Berkali-kali Calvin mencegah Silvi melukai diri sendiri. Dalam percobaan bunuh diri, Calvin pun berusaha menghentikannya.

Lama mengenalnya, Silvi menyelami kebaikan hati Calvin. Menurut Silvi, Calvin pria berhati lembut dan penyabar. Calvin tak pernah bicara seks selama berelasi dengannya. Menyentuh Silvi pun tidak.

Butuh waktu sangat lama untuk membangkitkan kepercayaan Silvi pada Calvin. Takdir mengantarkan mereka untuk menikah. Vonis infertilitas membuat Silvi terpukul. Layaknya roller coaster, sikap Silvi berubah sangat drastis.

Sebagai pria, Calvin ternyata memendam ketidakrelaan. Ketidakrelaan itu ia ekspresikan dengan selingkuh emosional. Selingkuh hati, mengguratkan kecewa di hati.

Silvi pernah membaca di sebuah buku bahwa wanita lebih tersakiti dengan selingkuh hati. Sebaliknya, pria akan lebih sakit hati dengan selingkuh emosional. Baiklah, ini saatnya membalas dendam.

"Kau yang memulai, malaikatku..." desisnya. Mengetuk-ngetuk pelan dashboard dengan jari berkuku lancipnya.

Mobil Silvi tiba di sebuah cafe bernuansa vintage. Kalau Revan tahu cafenya digunakan untuk tempat membuat janji selingkuh fisik, bisa bahaya. Silvi merahasiakan semua ini dengan rapi.

Setelah memarkirkan mobil, ia melangkah mantap memasuki cafe. Diedarkannya pandang, menebak-nebak pria mana yang meneleponnya. Manakah pria bodoh yang tertarik dengan iklan gila buatannya?

Silvi tahu diri. Ia takkan kecewa bila ditolak. Sudah jelas iklannya sangat ambigu. Mungkin iklan semacam itu layak masuk The Guiness Book of Record kategori hal-hal absurd. Iklan dan teksnya yang menggelitik itu muncul begitu saja di kepala Silvi.

Tak semua pria mau memenuhi tawarannya sekalipun ditukar dengan sejumlah nominal dengan beberapa digit angka nol. Tawarannya terlalu berisiko. Hanya pria kurang waras yang mau.

Seorang pria bertubuh tinggi, berkemeja hitam, dan berwajah Chinese melompat naik ke atas panggung. Sukses merebut perhatian para pengunjung cafe. Dimainkannya gitar akustik.

"Lagu untuk perempuan cantik bergaun hitam itu..." tunjuknya ke arah Silvi.

Serasa ada yang mengisap darahnya. Silvi terperangah. Sedetik. Tiga detik. Lima detik, pria itulah yang tertarik dengan tawarannya.


Katakan tidak pada selingkuh

Katakan tidak pada mendua

Katakan tidak pada semua yang sudah memiliki kekasih

Katakan tidak pada berdusta

Katakan tidak tebar pesona

Katakan tidak pada lainnya

Cukup aku satu (Afgan-Katakan Tidak).

Applause meriah dari pengunjung cafe membuat Silvi mau tak mau ikut bertepuk tangan. Ia malu, malu sekali. Lagu itu seperti tamparan sarkasme. Selingkuh hati dibalas selingkuh fisik.

Buru-buru ia naik ke panggung. Ditariknya lengan pria itu ke meja bertuliskan 'reserved'. Si pria tersenyum lebar, matanya kian menyipit. Lucu sekali ekspresi wajahnya.

"Malaikat tampan bermata sipitmu bisa mati kena serangan jantung kalau lihat istrinya bersamaku."

"Tak perlu tunggu serangan jantung, sakit ginjal juga akan membunuhnya perlahan."

"Perlukah kuberi tahu? Dia kan masih umrah..."

"Ah sudahlah. Jangan bermain-main denganku, Adica."

Adica tertawa sinis. Pelan memainkan penutup tas berisi biola dan kamera mirrorlessnya.

"Iklanmu itu cerdas, Silvi. Takkan ada yang mengira maksudnya seperti itu." pujinya.

"Thanks, tapi aku tak percaya pujian." tandas Silvi ketus.

"Ah, kau belum berubah rupanya. Btw, gimana kabar Thalita, Carol, dan Stevent?"

Ditemani strawberry milkshake, mereka terus berbincang hangat. Seperti teman lama. Sebenarnya, mereka punya maksud lain. Keduanya terikat motif yang sama.

"So, apa yang kauinginkan?" tanya Silvi serius.

Adica mengangkat alis. "Seharusnya aku yang bertanya begitu pada pengiklan."

"Sudah jelas kan? Calvin itu mandul dan tak berguna. Aku bisa balas dendam sambil mendapatkan apa yang kumau."

"Jujur ya, aku kagum padamu. Di saat banyak orang membuang anak, kau malah menginginkannya. Sampai menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya."

"Kuharap itu bukan pujian."

Mereka pun mulai terlibat pembicaraan serius. Semuanya dilakukan ekstra hati-hati. Mengingat perkara semacam ini dilarang di Indonesia.

"So, bagaimana aku harus membayarmu? Kau ingin apa? Mobil? iPhone? Traveling ke luar negeri?"

"Nope...aku punya tujuan yang lebih besar. Berikan aku saham perusahaan retail malaikatmu itu, dan kepemilikan salah satu butikmu."

Yang dihadapinya memang bukan orang sembarangan. Ia brilian, mampu mengambil celah dan kesempatan. Silvi terpaksa mengalah.

"Oh ya, aku juga tak mau merawat anak itu. Kau saja, ok?"

**     

Lissa Bakery and Cake Shop cukup ramai malam itu. Calisa berdiri di counter, sabar melayani pembeli. Hari ini waktunya full didedikasikan untuk toko kuenya.

Baru beberapa bulan dibuka, cake shop bernuansa western klasik itu sudah disukai banyak orang. Hasil penjualannya selalu meningkat. Kue-kue buatan Calisa memuaskan selera customer. Kue terlaris di Lissa Bakery and Cake Shop adalah red velvet dan brownies.

Ketika pembeli agak sepi, Calisa mencuri momen. Saatnya video call dengan Calvin. Kecemasan terurai di wajah cantiknya.

"Oh Calvin, are you ok?" bisiknya cemas.

"I'm good." jawab Calvin menenangkan, melempar senyum memesona.

"Tapi kamu masuk rumah sakit, Calvin..."

"Hanya kelelahan. Aku salah perhitungan. Seharusnya tidak memforsir..."

Kalimatnya menggantung. Calvin terbatuk. Kecemasan memuncak di hati Calisa.

"Apa kata dokter?"

"Cairan di paru-paru. Efek terlambat hemodialisa."

Kekhawatiran terukir dalam. Resah, Calisa menggenggam smartphonenya. Calvin dapat membaca pikiran wanita keduanya.

Ia berdeham, lalu berkata. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Calisa."

"Tetap saja aku khawatir. Aku..."

"Permisi."

Kehadiran pria setinggi 180 senti berjas biru dengan rambut pirang mengagetkan Calisa. Dengan kecepatan mengherankan, Calvin mengakhiri sesi video call. Ia tahu tanda bahaya.

"Oh iya, silakan. Maaf..."

Calisa berdiri tegak, kembali ke sikap profesionalnya. Tanpa diminta, si pria mengulurkan tangan.

"Saya Revan, kakak iparnya Calvin."

Jantung Calisa nyaris berhenti berdetak. Pertanda buruk. Revan berkata ramah.

"Saya mau beli dua loyang red velvet, lima potong pai apel, dan satu loyang egless chocolate cake."

Diiringi anggukan singkat, Calisa mengambilkan kue-kue pesanan Revan. Tangannya gemetar hebat saat mengemas kue ke dalam kotak.

"Cake shopmu bagus. Pasti akan semakin sukses." Revan memuji, tulus.

"Thanks. Ini pesanannya." Calisa mengulurkan paper bag berlogo Lissa Bakery and Cake Shop.

Sesaat keduanya berpandangan. Revan tak beranjak dari depan meja. Ia justru sibuk memandangi Calisa. Entah menaksir kecantikannya, menjustifikasi, atau apa.

"Saya harap, itu kali terakhirmu video call dengan Calvin."

Berani sekali. Baru beberapa menit berkenalan, langsung mengatur urusan orang lain.

"Apa hakmu melarangku?" sergah Calisa.

"Saya membaca ketakutanmu, Calisa. Kau berhadapan dengan dosen yang terbiasa membaca pikiran mahasiswanya. Jangan kira saya tak tahu kau ini siapa."

Di luar kesadaran, kakinya melangkah mundur. Mundur perlahan, hingga terhalang tembok. Revan tersenyum penuh arti.

"Mudah bagi saya melamarmu di depan Ustadz Saleh. Sebenarnya, saya tak punya niatan menikah. Tapi, kalau saya harus menikah demi kebahagiaan Calvin dan adik saya, pasti akan saya lakukan."

Kegilaan apa ini? Tertangkap kilatan tekad di mata biru Revan. Calisa paham, Revan bukan orang yang mudah disingkirkan. Meski demikian, ia kagum juga pada pria satu ini. Pria yang rela berkorban demi kebahagiaan orang-orang yang dicintai layak diperhitungkan.

"Percayalah, Calisa. Menikah jauh lebih terhormat dari selingkuh."

Setelah berkata begitu, Revan meletakkan kartu namanya di meja dan melangkah pergi. Calisa menatap nanar punggungnya hingga menghilang ditelan pintu kaca. Masih shock dengan pertemuan tak terduga.

Menit-menit berlalu. Otaknya seakan beku, begitu juga hatinya. Impuls menggerakkannya untuk mengambil kartu nama itu, memasukkannya ke dalam tas.

**    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun