"Kamu masih punya harapan."
Serpihan kristal menjatuhi hati Calvin. Sejak kedua orang tuanya meninggal, Calvin tak punya lagi tempat bersandar. Hanya Dokter Tian tempatnya meminta saran.
"Lihat, ada pendamping untukmu pagi ini."
Silvikah? Mana mungkin? Calvin mengikuti arah pandang Dokter Tian. Sedetik kemudian, dia terpana.
Calisa berjalan memasuki unit hemodialisa. Paper bag berisi dua kotak bakery tergenggam di tangannya. Kegundahan merona wajah.
"Calvin..."
"Calisa..."
Mereka berucap nyaris bersamaan. Mata sipit bertemu mata bening. Ketampanan bertemu kecantikan. Kesakitan bertemu kekuatan. Ketulusan bertemu kelembutan. Kekhawatiran bertemu ketenangan. Model dan pengelola cake shop bertemu blogger dan pengusaha. Tionghoa bertemu Minang-Inggris. Calvin Wan bertemu Calisa Karima.
"Dari mana kamu tahu...?" tanya Calvin, menatap sendu wajah Calisa.
Sebagai jawaban, Calisa memperlihatkan iPhonenya. "Aplikasi find my friends. Aku tak menyangka kamu sakit seperti ini, Calvin."
Bola matanya berawan. Awan-awan itu pecah menjadi hujan. Calisa menangis. Kedua bahunya bergetar hebat. Sementara itu, Dokter Tian mengerling sedikit. Sangat terbiasa dengan kesakitan dan air mata di rumah sakit. Sama terbiasanya dengan seduhan Earl Grey di pagi hari.