Cuci darah sendirian, Calvin sudah biasa. Ia satu-satunya pasien hemodialisa yang tidak memiliki pendamping. Rerata pasien di unit hemodialisa didampingi keluarga dan orang terdekat.
Jajaran bed-bed dengan hemodialisis menghujam penglihatannya. Aroma darah yang tercium tajam membuatnya mual. Ruangan luas ini terasa sangat dingin. AC di-set pada suhu terendah.
Berusaha mengalihkan pikiran dari perasaan mual yang membanjiri, Calvin membalik halaman buku di tangannya: The Alchemist. Tersihir kata-kata Paulo Coelho. Novel itulah yang menemaninya menjalani hemodialisa pagi ini.
Tenggelam dalam perjalanan bocah gembala Santiago, Calvin teringat mimpinya sendiri. Bila Santiago bermimpi mendapat harta karun, blogger dan pengusaha tampan satu ini memimpikan hadirnya keturunan. Santiago masih punya peluang besar untuk mewujudkan mimpi itu. Sementara Calvin? Tidak.Â
Cuci darah dan obat-obatan laknat itu mematikan harapannya untuk meneruskan keturunan. Membuatnya tak mampu menjadi suami sempurna untuk Silvi. Kemungkinan besar, Calvin akan bernasib sama seperti pedagang kristal di buku itu: bertahan hidup hanya karena mimpi pergi ke Mekkah, namun tak terwujud.
"Buku yang bagus,"
Sebuah suara barithon memburaikan konsentrasinya. Perlahan Calvin meletakkan novel itu. Dokter Tian berdiri di sisi tempat tidurnya, tersenyum dengan sikap fatherly.
"Saya selalu memperhatikanmu, Calvin. Selalu..." ungkap Dokter Tian tulus.
Bed-side-examination. Prosedur biasa. Dokter Tian bukan dokter biasa di mata Calvin. Ia seperti ayah kedua. Satu dari sedikit orang yang dipercayainya.
"Jadilah Santiago, jangan seperti pedagang kristal itu." nasihat Dokter Tian.
"Tidak mungkin, Dokter. Saya sakit, saya..."