Hidup tanpa mobil tidak enak ya? Setidaknya, itulah yang dirasakan Calisa selama beberapa bulan terakhir. Merepotkan bila tak punya mobil. Kemana-mana harus mengandalkan transportasi publik atau layanan angkutan daring.
Tapi, pilih mana? Pilih punya mobil pribadi dengan konsekuensi terkekang aturan ketat dan fanatik, atau pilih hidup tanpa mobil tapi bebas fanatisme? Pilihan Calisa jatuh pada opsi kedua.
Saat ini, katakanlah Calisa sedang terjebak dalam escape time. Sebenarnya, itu istilahnya sendiri. Teringat kondisi terjepit dalam pelarian. Pelarian dari keluarga besar yang fanatik.
Wanita cantik berkulit putih dan berpostur ramping itu melambaikan tangan pada taksi biru yang baru saja meluncur pergi. Ia mengusap wajah letihnya. Memutar tubuh, tepat menghadap ke arah masjid putih berhiaskan aksara Mandarin dan kaligrafi Arab. Gelisah, ia lirik jam tangannya. Ok good, masih ada waktu.
Perlahan, wanita berwajah perpaduan Mongoloid-Kaukasoid itu melangkah menuju masjid. Tak berhijab bukan alasannya untuk meninggalkan ibadah. Biar pun penampilannya seksi, tetapi hatinya masih Islami.
Di gerbang masjid, dua penjaga menghalanginya. Menatap curiga ke arah si wanita.
"Permisi," kata wanita itu sopan. Suara soprannya begitu halus. Lucu caranya mengucapkan huruf "R".
"Mau apa kamu ke sini? Pergi!" usir dua penjaga masjid itu.
Calisa mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. "Apa hak kalian mengusir saya?"
Silakan men-judge Calisa lancang. Terlebih, dia hanya pendatang. Namun, rasanya mengusir orang yang akan masuk tempat ibadah bukanlah perbuatan bijak.
"Kamu pasti bukan Muslim!" tuduh dua penjaga, menatap nanar kedua kaki jenjang Calisa.
Stereotip, lagi-lagi stereotip. Calisa mendesah. Di rumah, ia berurusan dengan fanatisme beragama. Di luar rumah, ia berhadapan dengan stereotip. Memang tidak enak terlahir sebagai blasteran.
"Jangan asal menuduh, ya. Saya Muslim, sama seperti jamaah di masjid ini." kata Calisa berani.
"Kenapa kami harus percaya? Kamu tidak cocok jadi Muslim. Bajumu yang seksi, kulit putihmu, wajah bule..."
Calisa tertawa hambar. Jika mereka tahu siapa dirinya, siapa ayahnya, dapat dipastikan lidah mereka beku. Ingin rasanya Calisa naik ke langit dan memprotes Allah. Ya, Allah yang Maha Cinta, tidak bolehkah orang kulit putih dan berbaju seksi memeluk Islam?
"Jangan sok tahu. Pokoknya, saya Muslim. Dan saya ke sini untuk shalat. Ok?"
"Beraninya bilang kami sok tahu! Mana ada Muslimah kayak kamu?"
Lelahnya Calisa berdebat dengan mereka. Waktu sudah menipis. Ia takut, takut sekali ketinggalan shalat. Apa sebaiknya ia cari masjid lain saja?
Belum sempat memikirkan plan B lebih jauh, sebuah BMW M235i Coupe putih berhenti. Pintu pengemudi terbuka. Pria tampan berwajah oriental dan berjas dark blue turun dari mobil. Terlihat tangan pria itu melepas kacamatanya. Memperlihatkan sepasang mata sipit bening nan menawan. Sekilas Calisa melirik kacamata yang dilepas sang pria. Oakley, pikirnya. Minus 5.
Demi melihat pria Chinese itu, langsung saja dua penjaga masjid menyalaminya. Menyambutnya, sopan dan hangat. Si pria balas tersenyum lalu bertanya,
"Ada masalah?"
"Perempuan seksi ini memaksa ingin masuk masjid, Tuan. Tak kami izinkan."
"Kenapa? Memangnya ada peraturan yang melarang perempuan seksi masuk tempat ibadah?"
Pertanyaan cerdas, bisik hati kecil Calisa. Pria ini boleh juga. Lihatlah, raut wajah dua penjaga itu berubah kaget.
"Tidak, kan? So, kenapa kalian melarangnya?"
"Siapa...siapa tahu, dia Non-Muslim, Tuan."
"Itu baru asumsi kalian. Memangnya yang kulitnya putih, wajah secantik bule, tidak boleh jadi Muslim? Ayolah, jangan prasangka buruk dulu."
Tepat, tepat sekali. Hati Calisa melompat gembira. Pria tampan ini sejalan pemikirannya.
Dan...voilet, jalannya mulus. Calisa dibolehkan masuk. Pria berjas itu sendiri yang mengantarnya.
"Sorry ya, next time tak akan terjadi lagi." janji pria itu.
"No problem. Thanks for..."
Mereka berjalan menyusuri pelataran masjid. Uruf-huruf Mandarin dan kaligrafi Arab bertebaran dimana-mana. Lantai, tangga, dinding, dan pegangan tangga, semuanya terbuat dari marmer. Lantai satu untuk jamaah pria, lantai dua untuk jamaah wanita. Di tempat wudhu, tertulis tata cara berwudhu dalam tiga bahasa: Indonesia, Mandarin, dan Arab. Masjid ini tak punya pengeras suara.
"Oh ya, kita belum kenalan. Namaku Calvin. Kamu?"
"Calisa Karima. Panggil saja Calisa."
Keduanya berjabat tangan. Saling bertukar kartu nama. Sesaat keduanya saling pandang. Buru-buru Calisa menundukkan wajah. Menyembunyikan rona merah di pipi. Amat berharap Calvin tak mendengar deburan yang mengombak di hatinya.
"Jangan khawatir," kata Calvin lembut.
"Bukan hanya kamu yang jadi korban stereotip. Dari kecil, aku sering mengalaminya."
Kembali Calisa menengadah. Calvin sedang tersenyum menawan padanya.
"Calvin, kenapa ya kita sering dikira Non-Muslim?"
"Karena..."
"Papa-Vin!"
Dua anak kecil berlari-lari ke dalam masjid. Mereka berebutan memeluk pinggang Calvin. Merapatkan tubuh sedekat mungkin pada pria tinggi atletis itu.
"Papa-Vin lama banget. Katanya cuma mau bantu orang..."
"Oh sorry, Thalita Sayang. Sorry...Papa-Vin lupa." Calvin meminta maaf. Pelan mengelus-elus kepala Thalita.
Anak perempuan satunya, merajuk manja. Ingin dibelai juga. Calvin mengulurkan tangan, membelai kepala si gadis kecil.
"Thalita, Carol, Stevent mana?" Calvin bertanya, teringat keponakan terakhirnya.
"Di mobil, Papa-Vin. Kan nggak mungkin diajak ke sini. Susah bawa kursi rodanya."
Calvin mendesah. Memang sedikit repot membawa tiga anak kecil bepergian, salah satunya difabel. Namun, Calvin sangat menikmatinya.
Lembut diciumnya kening Thalita dan Carol bergantian. Dimintanya mereka jangan meninggalkan Stevent lagi. Kalau ada yang mau turun dari mobil, salah satu harus menjaga Stevent.
Dari sudut mata, Calisa lekat memperhatikan momen manis ini. So handsome, care, and kind, suara kecil di hatinya membisikkan. Gentleman sejati, tipe hot daddy.
"Ok, kita pulang ya. Ayo, pamit dulu sama Tante cantik ini."
Thalita dan Carol menurut. Mereka anak-anak pintar, manis, dan cute. Calisa menyukainya. Calvin berpamitan pula pada Calisa. Meminta maaf karena tak bisa lama-lama menemani.
Sepersekian menit, Calisa terus berdiri di tempatnya. Pertemuan singkat penuh kesan.
** Â Â Â Â
Ingatan akan pertemuan pertamanya dengan Calisa terus membekas. Hingga malam berlalu dan pagi datang, Calvin masih larut dalam kenangan.
Terdorong kenangan, Calvin berjalan-jalan ke kompleks perumahan tempat tinggal Calisa pagi ini. Tentu saja tanpa sepengetahuan Silvi. Nona Minahasa turunan Turki itu bisa marah besar kalau sampai tahu.
Calvin melangkah ringan di sepanjang kompleks. Melewati taman, blok demi blok, masjid, dan lapangan basket. Rumah-rumah di sini jauh lebih kecil. Tak sebanding dengan rumah mewahnya di lereng bukit. Rerata dihuni keluarga muda kelas menengah. Sebagian besar rumah rapi dan terawat, sebagian lagi berdebu dan sudah lama tak ditempati.
Tiba di blok C, langkah Calvin memelan. Itu dia, itu rumahnya. Rumah mungil berpagar kayu dan bercat hijau toska. Pagarnya terbuka lebar. Semacam undangankah?
Mengantongi iPodnya, Calvin mendatangi rumah itu. Setangkai mawar putih yang dibawanya ia selipkan di bawah pagar. Sebuah kartu ia sisipkan juga. Biarlah Calisa menemukannya, lalu pipinya akan merona. Calvin tak pernah lupa merahnya pipi Calisa.
Sejurus kemudian, ia lanjutkan lagi langkahnya. Pertemuannya dengan penjual balon di tengah jalan menerbitkan inspirasi baru. Buru-buru dikeluarkannya kamera pocket. Dipotretnya titik tertentu pada balon-balon di tangan si pedagang.
"Yes," bisiknya excited.
"Mas, mau beli balon atau motret aja? Ganggu orang jualan," tegur si penjual balon kesal.
"Oh, maaf...saya mau beli kok. Saya mau yang itu." Calvin menunjuk balon merah berbentuk hati.
Senyum cerah merekah di wajah penjual balon. Diberikannya balon merah itu. Calvin meminjam kertas dan pulpen. Untunglah si penjual membawanya. Cepat-cepat Calvin menulis pesan di kertas, lalu mengikatkan kertas itu pada balon.
"Tulisannya rapi, Mas. Pasti Mas bukan dokter." komentar si penjual balon.
"Memang bukan. Kalau saya jadi dokter, pasiennya bukan sembuh tapi malah kena komplikasi. Ok, ini saya kembaliin pulpennya. Ini buat balon yang tadi."
Calvin menyerahkan ratusan ribu yang masih licin dan baru. Lalu bergegas pergi. Mengabaikan seruan si penjual balon yang ingin memberikan uang kembali. Uang kembali mungkin dipermasalahkan orang lain, tetapi Calvin Wan tidak. Biar saja uang kembali jadi rezeki pedagang balon.
Setengah berlari, dia kembali ke rumah Calisa. Blogger super tampan itu menaruh balon, berdekatan dengan bunga mawar dan kartu. Posisinya masih sama. Berarti, Calisa belum melihatnya.
"Nah, ketahuan. Mas ganteng yang tulisannya rapi mau modusin yang punya rumah ini ya?"
Ah, penjual balon ini lagi. Mau apa pula dia mengikuti Calvin?
"Nggak kok. Memangnya nggak boleh ya, kasih bunga dan balon buat perempuan?"
"Boleh sih. Tapi kan aneh kalo nggak ada apa-apa. Apa lagi Masnya ganteng banget."
Calvin hanya menanggapi dengan senyuman. Sudah biasa dipuji tampan. Di kantor, di jalan, di masjid, di rumah, di catwalk, di cafe, selalu saja begitu.
"Awas lho, Mas. Kalo masih jomblo sih nggak apa-apa. Tapi kalo udah ada yang punya..."
Seperti tamparan di hati Calvin. Tamparan ekstra keras dari seseorang yang tingkat ekonominya jauh di bawah. Sudah keterlaluankah dirinya? Malaikat tampan bermata sipit malah menulisi pesan cinta untuk wanita lain. Bukan wanita yang namanya tertera di cincin dan buku nikahnya.
** Â Â Â
Oh Tuhan
Tolong aku sampaikan pesan ini padanya
Agar dia tahu bahwa kini
Aku jatuh cinta
Oh Tuhan bantu aku temukan
Cara tuk mendapatkan dia
Karena kini ku telah jatuh cinta (Afgan-Pesan Cinta).
** Â Â Â
To be continue...
Tomorrow
** Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H