Calvin duduk di samping Silvi. Pelan melepaskan sepatunya. Mengobati kaki gadis itu yang terluka. Sabar menenangkannya saat Silvi mengaduh kesakitan.
"Jadi..." Silvi memulai, nadanya tetap tajam.
"Mengapa harus marah di hari spesialmu, Silvi?" Calvin menatapnya lembut. Mengangkat dagu gadis Minahasa-Portugis-Turki itu dengan jemarinya.
Mata itu, sungguh meneduhkan. Silvi tak tahan di bawah tatapannya. Mata adalah jendela hati.
"Kamu masih marah setelah aku menunda rencana pernikahan kita karena..."
"Sakitmu itu bukan alasan, Calvin. Kan sudah kukatakan berkali-kali. Aku tidak mempermasalahkannya."
Calvin menghela nafas. Sedikit terbatuk. Memegangi rusuknya. Berusaha keras menyembunyikan rasa sakit. Cuci darah tak diinginkan itu membuat rasa sakit yang lain di bagian tubuhnya.
"Aku yang keberatan, Silvi. Mana mungkin aku menyusahkanmu?" ujar Calvin sabar.
"Bilang saja kau memang tidak punya niat menikahiku."
"Silvi..."
"Jangan memanggil namaku hanya untuk membuatku luluh!"