Saat itulah ia teringat Tuan Effendi. Papanya pun tak kalah istimewa. Sayangnya, sang Papa kini tak di sampingnya. Silvi membaca pikiran Calvin. Digenggamnya tangan laki-laki yang sangat dicintainya, berbisik lembut.
"Mau kutelepon Uncle Effendi dan Auntie Rose? Kurasa, sudah saatnya mereka tahu."
Calvin menggeleng kuat. Tidak, tidak seharusnya Mama-Papanya tahu. Baru beberapa bulan mereka rujuk. Ironis sekali bila kebahagiaan itu dirusak dengan berita sakitnya Calvin.
"Sampai kapan kamu mau merahasiakannya, Calvin?" tanya Calisa lelah.
"Mungkin selamanya," sahut Calvin lirih.
"Aku tak tega jika..."
"Sorry Calvin, aku telat. Sorry semuanya."
Julia bergegas masuk ke unit hemodialisa. Ia sedikit terengah. Rambut panjangnya agak berantakan. Namun, sosoknya tetap cantik dalam balutan mini wrap dress bermodel tube top warna merah darah.
"No problem...terima kasih mau menemaniku hemodialisa, Julia." kata Calvin lembut.
Tak tahan diam berlama-lama, Albert menginjak kaki Julia. Nyaris saja gadis blasteran Sunda-Jawa-Belanda itu berteriak andai tak ingat dimana dia berada.
"Dari mana aja sih? Telat kok kelewatan!" sergah Albert mencari penyakit.