"Tentu saja, Sayang. Turunlah kalau kau sudah siap."
Pintu putih itu mengayun terbuka. Dada Evita bergemuruh. Ya, Allah, itukah dia?
** Â Â
Ada hujan di mata Evita. Kristal-kristal bening berjatuhan. Sukses merusak polesan make up di wajahnya. Namun ia tak bisa, sungguh tak bisa menahan tangisnya lebih lama lagi.
Calvin terbaring di dalam peti mati. Setelan jas hitam membalut sempurna lekak-lekuk tubuhnya. Asap hio bergulung-gulung, kue dan buah-buahan tertata rapi di meja persembahan. Kertas sembahyang dibakarkan. Dalam kematian, Calvin tetaplah tampan.
"Aku paham keluargamu keras kepala..." desis Evita. Lembut membelai pipi Calvin yang dingin membeku.
"Mereka bisa menerima kalau kau meyakini Allah yang berbeda dengan mereka. Tapi...ternyata, mereka berkeras memakamkanmu dengan tradisi mereka."
Sunyi. Sesaat Evita mengedarkan pandang. Kamar tidur mewah itu masih sama. Dinding, langit-langit, dan karpetnya serba putih. Sofa, grand piano, rak buku, dan seperangkat komputer lengkap dengan printer dan scanner belum berubah posisinya.
"Tapi aku hormati keputusan mereka. Termasuk ketika mereka mencarikan Minghun untukmu."
Suara Evita bergetar saat mengucap dua kata terakhir. Dua butir air mata terjun bebas membasahi pipi.
"Aku sangat mencintaimu, Calvin. Cinta, yang membuatku ikhlas menjadi Minghun untukmu. Allah mengabulkan doaku. Aku bisa bersamamu...aku bisa menikah denganmu."