Piano menghilang. Calvin bangkit, masih mengenakan tuxedo hitam. Runway menyambutnya, diikuti puluhan pasang mata audience. Fashion show. Koreografi dilakukan Calvin dengan sempurna. Langkahnya tegap, gagah, dan maskulin. Memeragakan tuxedo mahal memang tepat untuknya. Diimbangi senyum menawan dan postur tubuh atletis, sempurnalah penampilan Calvin.
Hingga akhirnya...
Runway berputar. Penglihatan matanya memburam. Rasanya seperti jendela yang dibuka-tutup berulang kali dengan kecepatan tinggi. Calvin limbung. Tubuh atletisnya jatuh, jatuh dari atas runway.
Seperti berpusar dalam Pensieve di Harry Potter, runway lenyap. Kali ini berganti di sebuah kamar rumah sakit. Calvin terbaring lemah di ranjang. Mata sipitnya menatap nanar kamar mewah itu. Satu tangannya bergetar hebat saat mengambil iPad. Perlahan ia menulis. Menulis, dan terus menulis. Dalam kondisi sakit, Calvin Wan tetap menulis artikel di media itu. Sesekali ia berhenti karena kelelahan. Lalu ia lanjutkan lagi. Terus, terus, hingga artikelnya selesai dan ditayangkan.
Pintu kamar rumah sakit terbuka. Pria tua yang masih memiliki sisa-sisa ketampanan di masa lalu mendekat. Sambil meneteskan air mata, pria itu memegang tangan Calvin.
"My dear Calvin Wan...jangan pergi. Jangan tinggalkan Papa. Kau harus kuat, Sayang."
"Dimana supir pribadiku, Pa?" tanya Calvin lirih.
"Dia izin hari ini. Ada apa, Nak? Kalau kamu butuh sesuatu, biar Papa yang bantu."
Calvin menghela nafas berat. Pelan menyentuh selang oksigen di hidungnya.
"Aku takut tak ada waktu lagi, Pa. Tolong antarkan sepatu, baju, mainan, dan buku-buku bacaan itu ke yayasan anak penderita kanker. Papa mau melakukannya, kan?"
Begitulah Calvin. Sakit pun masih memikirkan orang lain.