Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berdialog dengan Tokoh Fiksi, Muslim Kulit Putih di Tengah Gempuran Islamophobia (Bagian 3)

21 Juli 2018   06:12 Diperbarui: 21 Juli 2018   07:29 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ayo, coba merapat lagi. Sambil pasang Hold My Hand nya Maher Zain ya. Kita berkumpul, buat suasana rileks, cari posisi paling nyaman, lalu mulai ciptakan dialog imajiner secara lifetime dengan tokoh fiksi yang tidak benar-benar fiktif.

Kali ini sih suasananya rileks-rileks aja. Asyik malah. Restoran mewah itu jadi settingnya. Pria tampan berparas oriental turun dari Mercynya. Setelan jasnya begitu rapi. Jas Dolce and Gabbana yang sangat elegan dan mahal. Pria itu melangkah penuh percaya diri ke meja nomor 26 bertuliskan 'reserved', memesan menu-menu mahal, dan duduk menunggu. Sekilas ia bertopang dagu, lalu senyumnya merekah saat melihat kedatangan gadis cantik bergaun putih.

Sssttt, siapa pria oriental dan gadis cantik kebarat-baratan itu? Tak lain dan tak bukan...Calvin Wan dan Young Lady.

"Kurang beruntung apa kita coba? Punya fasilitas lengkap, mau makan apa aja asalkan halal bisa terbeli, mau traveling kemana aja bisa...wow." Young Lady tersenyum puas, sesekali memainkan ponsel cantik berlogo apel tergigit.

"Yups. Menurutku, ini tidak lepas dari ikhtiar kita sendiri. Usaha yes, doa yes, sedekah yes." sahut Calvin ringan.

"Well, makin lama Muslim makin kaya dan berjaya ya."

Perkataan Young Lady disambuti anggukan Calvin. Tak lama, pesanan mereka datang.

"That's my favorite food!" seru Young Lady antusias.

"Dan...ah, ini Earl Grey! Favorit aku banget!"

"Aku akan selalu ingat."

Sepasang mata sipit dan sepasang mata biru beradu. Membiaskan degup jantung yang bertambah kuat. Desir halus menghangatkan hati.

"Kenapa kamu suka Western food?" tanya Calvin tetiba, mengagetkan Young Lady.

"Memangnya belum jelas ya? Kan itu makanan khas dari tanah air keduaku. Kamu sendiri, suka Chinese food nggak?"

"Suka dong."

"Karena dari negeri leluhurmu, kan?"

"Nope..." Calvin tertawa kecil, tanpa sadar melambaikan garpunya.

"I'm Indonesian. Leluhurku, tanah airku, ya Indonesia."

"Indonesian-Chinese." koreksi Young Lady halus.

"Whateverlah. Berarti kamu Indonesian-Holland ya kalau gitu."

Keduanya tertawa bersama. Satu pria Chinese, satu lagi gadis Barat. Serasi sekali.

"Oh ya, aku mau cerita. Sebelum ke sini, aku ke masjid besar di depan sana itu. Waktu mau shalat, orang-orang menatapku aneh. Trus salah satu jamaah bilang gini 'Mbaknya mualaf ya? Atau Non-Muslim yang lagi belajar shalat?' Aku kagetlah digituin. 'Nggak kok, saya Muslim' jawabku canggung. Yeee jamaahnya malah nggak percaya. Katanya, kulitku terlalu putih dan tampangku nggak cocok buat jadi Muslim."

Mendengar itu, Calvin tersenyum. Berusaha menyabarkan Young Lady cantik.

"Aku juga sering mengalaminya. Tenang saja. You're not alone."

"Memangnya lagunya Michael Jackson?"

"Aku serius. Kamu nggak sendiri. Banyak Muslim kulit putih yang sering dikira Non-Muslim dan ditatap aneh waktu masuk masjid."

Young Lady mendesah. Perlahan menghabiskan Earl Greynya.

"Iya sih. Dunia ini aneh ya. Yang Non-Muslim takut sama Islam, yang Muslim mencurigai sesama Muslim, tapi Islam terus berkembang pesat di tengah gempuran Islamophobia. Bahkan menurut Pew Research Centre, Islam agama yang paling pesat perkembangannya. Keren kan agama kita?"

"Yups. Janji Allah tak perlu diragukan. Bukankah Islam akan menang? That's right. Tinggal tunggu waktu aja."

Mereka bertoast dan bertukar senyum. Desiran hangat bertambah kuat menjajah hati.

"Calvin, apakah yang berkulit putih, bermata biru, hijau, sipit, abu-abu, atau berambut pirang tidak cocok jadi Muslim?"

"Tuhan tidak membedakan etnis. Islam itu sangat universal. Yang berkulit putih bersih sampai hitam legam sangat pantas memeluk Islam. Islam kan rahmatan lil alamin."

"Oh iya ya, benar juga. Malaikat tampan bermata sipitku, tahu nggak?"

"Nggak?"

Refleks Young Lady memukul gemas lengan Calvin. "Nanti dulu, aku belum selesai!"

Calvin hanya tertawa, meminta Young Lady cantik melanjutkan.

"Di Eropa, ada fenomena gereja diubah jadi masjid. Sudah cukup banyak gereja yang kini dibeli komunitas Muslim, lalu dijadikan masjid. Itu karena jumlah umat Muslim terus bertambah. So, mereka butuh lebih banyak masjid, kan? Whereas Eropa sendiri digempur Islamophobia. Tapi umat Muslim justru terus, dan terus bertambah."

"I see. That's great."

Keduanya berbincang santai tentang perkembangan Islam di resto mahal. Di tempat yang hits dan sekuler, jauh dari kesan religius. Lebih baik begini. Dari pada ikut kajian-kajian keislaman yang tidak jelas, merasa paling benar, radikal, dan berujung indoktrinasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun