Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Melodi Silvi 2] Rumah Kenangan, Bahasa Cinta

14 Juli 2018   05:50 Diperbarui: 14 Juli 2018   06:53 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam ketika Calvin kehilangan tiga permata hatinya yang paling berharga adalah malam pertama terjadinya fenomena Aphelion. Matahari terasa amat jauh dari bumi. Membuat udara pagi sedingin malam, dan udara malam sedingin baja beku.

Dingin, sedingin itulah hati Calvin. Dua bulan setelah malam kehilangan itu, Calvin mengambil keputusan. Keputusan yang takkan disesalinya sampai kapan pun.

"Calvin, are you sure?" tanya Revan untuk kedua puluh enam kalinya.

Calvin mendesah. Blogger dan pengusaha yang lahir di bulan paling dingin dalam setahun itu meneruskan kesibukannya mengemasi barang-barangnya ke dalam koper. Tiga koper besar berdiri di dekat kakinya. Ini koper keempat.

"Harus kujawab berapa kali lagi, Revan?" Bukannya menjawab, Calvin justru balik bertanya.

Revan membuang pandangannya ke langit gelap tanpa bintang yang terlihat jelas. Satu tangannya melonggarkan dasinya. Ia letih dan tak mengerti dengan jalan pikirannya.

Dari kejauhan, terdengar derap kaki menaiki tangga. Disusul langkah terburu-buru. Pintu kaca balkon menggeser terbuka. Anton dan Albert masuk membawa setumpuk jas mahal.

"Ya ampun Calvin. Kamu ini pengusaha atau kolektor jas? Barang-barangmu banyak sekali. Yang paling banyak memakan tempat adalah jas dan buku." keluh Albert sedikit terengah, pelan merapikan rambutnya.

Mendengar keluhan sahabat blasteran Jawa-Jerman-Skotlandianya, Calvin hanya tersenyum. Pelan meminta maaf karena telah merepotkan.

Bila Albert terus mengomentari banyaknya barang-barang Calvin, Anton hanya diam. Ia berlutut, memasukkan tumpukan jas yang dibawanya ke dalam koper keempat. Pemilik Laluna Resto keturunan campuran Jawa-Belanda itu membantu Calvin dalam diam.

"Lalu, rumah ini mau kauapakan? Apa mau dijual?" selidik Albert.

"Nope. Siapa tahu aku ingin kembali ke sini. Atau ada yang membutuhkan rumah ini."

Dalam hati, ketiga sahabat itu setuju. Apa yang diputuskan Calvin soal rumah pribadinya sudah benar. Rumah seindah ini, berhiaskan bunga, rooftop garden, dan dilengkapi kamar-kamar tidur mewah, sayang sekali kalau dijual.

"Ok, ready. Saatnya..."

"Wait." sela Calvin buru-buru, memotong perkataan Revan.

Si pria blasteran Minahasa-Turki-Portugis mengangkat alis. Mata birunya menatap bingung.

"Aku ingin main piano, sebelum pergi."

Nyaris saja kata protes berlompatan dari ujung lidah Albert. Tatapan tajam Anton dan Revan sudah lebih dari cukup untuk mencegahnya.

Mereka berempat turun ke lantai bawah. Udara dingin menyeruak, menggigiti kaki mereka sewaktu menuruni anak tangga putih. Berulang kali Calvin menggosokkan kedua tangannya. Terkadang menekapkan tangannya ke dada, seolah sangat kedinginan.

"Hei, are you ok?" bisik Revan cemas.

"I'm good." jawab Calvin lirih.

Tiba di ruang keluarga, Calvin menarik kursi ke dekat baby piano. Digerakkannya jemarinya di atas bidang hitam-putih itu. Memainkan nada demi nada dengan indah.

Di setiap cerita pasti ada akhirnya

Di setiap suka ada duka

Apa pun yang terjadi

Ingat kita pernah berada di sini

Jangan pernah lupakan kita

Semua suka-duka cerita bersama

Simpanlah di hati (CJR-Jika Bisa Memilih).

Sepasang mata sipit bening itu terpejam. Bayangan Silvi menari di pelupuk matanya. Silvi, permata hatinya yang paling berharga, kini tak lagi bersamanya. Malaikat kecilnya harus kembali ke pelukan ayah kandungnya.

Revan, Anton, dan Albert terenyak. Hanya Revan yang memahami isi hati Calvin.

"Aku jadi ingat waktu dia kembali ke rumah ini tahun lalu," gumam Anton.

"Hal pertama yang dilakukannya adalah main piano. Sekarang, hal terakhirnya juga bermain piano."

Albert mengangguk. Revan diam saja. Sukses membuatnya dihadiahi sikutan sang dokter Onkologi.

"Pak Rektor kok diam saja?" tegurr Albert setengah kesal.

"Aku tahu kenapa Calvin sesedih ini. Dia sangat kehilangan Silvi. Silvi..."

Kata-kata Revan menggantung di udara. Seperti akhir sebuah novel yang dibiarkan menggantung oleh penulisnya. Bahkan Anton dan Albert pun ikut terdiam. Revan ternyata masih menyalahkan dirinya sendiri.

Sering terbersit di pikiran Revan untuk mengembalikan Silvi ke pelukan Calvin. Namun, Silvi ternyata lebih menginginkan ayah kandungnya dibandingkan ayah angkatnya. Ironis, Silvi membenci Calvin. Sementara Calvin sangat menyayanginya.

Lama keempat sahabat itu tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Seakan trance, seakan terhipnotis lamunan mereka. Atau sengaja mengulur waktu untuk meninggalkan rumah indah ini. Rumah penuh kenangan ini. Selamat tinggal kenangan, selamat tinggal deraian memori.

**      

Helaian rambut panjang hitam itu tergerai rapi. Pemiliknya memilin-milin rambutnya gelisah. Sejak tadi pandangannya tertuju ke pintu kantor. Dimanakah staf-stafnya?

Malam itu, Syifa mengundang lima belas staf kepercayaannya untuk rapat. Mereka staf-staf yang loyal dan kompeten. Selama ini, merekalah yang membantu Syifa mengurus Global Classica Kindergarten. Taman kanak-kanak berfasilitas lengkap yang dibangunnya dengan bantuan Adica. Sayangnya, kini taman kanak-kanak itu tengah terhimpit masalah besar.

Sepuluh menit kemudian, setengah dari orang kepercayaannya datang. Wajah-wajah di sekelilingnya nampak tegang. Syifa memahami perasaan mereka.

"Syifa, kenapa rapatnya di luar office hour?" Muthia melempar tanya.

"Top secret, Muthia. Jangan sampai siapa pun tahu. Termasuk wali murid atau calon murid baru." sahut Syifa sabar.

Rapat pun dimulai. Masalah besar diungkapkan. Rupanya Global Clasica Kindergarten mengalami masalah keuangan yang cukup kompleks. Semuanya gegara mantan orang kepercayaan Syifa yang melakukan korupsi. Korupsinya membuat Global Clasica Kindergarten mengalami kerugian besar.

"Bagaimana kalau kita minta dia bertanggung jawab?" usul Muthi.

"Tak semudah itu. Jejaknya saja belum terlacak sampai sekarang. Bagaimana mau menuntut kerugian?" bantah staf lainnya.

"Tapi, harus ada solusi untuk menutup biaya operasional sekolah kita."

Semua orang mengerutkan dahi, berpikir. Kecuali Syifa. Seberkas ide menggelitik kepalanya. Hanya butuh sedikit lagi untuk disampaikan.

Ia harus berbuat sesuatu demi Global Clasica Kindergarten. Kasihan murid-muridnya, kasihan para orang tua yang telah mempercayakan anak mereka padanya. Syifa sangat mencintai sekolah ini dan semua siswanya. Apa pun akan dia lakukan termasuk memberikan harta miliknya untuk menyelamatkan sekolah ini.

Perlahan dibukanya kotak-kotak biru keperakan yang ia bawa. Empat koper besar di bawah kakinya pun ia buka. Terlihat kilauan perhiasan mahal, kerlipan berlian, desiran halus helaian gaun sutra yang meluncur dari sebuah koper, permukaan sepatu mahal yang masih mengilap, dan barang-barang mahal bernilai puluhan juta lainnya. Semua ini koleksi pribadi Syifa. Ia berniat menjualnya untuk menutup biaya operasional taman kanak-kanak.

Buliran air mata meluncur ke pipi wanita cantik itu. Ia tergugu, bibirnya gemetar. Semua barang mahal itu meneriakkan kenangan. Kenangannya bersama Adica. Barang-barang itu adalah seserahan yang diberikan Adica saat melamar Syifa tiga belas tahun lalu. Ini belum seberapa. Di rumah, masih banyak koleksi Syifa lainnya.

Tak dapat diingkari, ia terisak juga. Sulit berpisah dengan setiap benda yang mengingatkannya pada suami tercintanya. Benda kenangannya dengan Adica banyak sekali. Dibandingkan ucapan cinta, Adica lebih suka menunjukkan cintanya dengan memberikan barang-barang mewah untuk Syifa. Perlakuan serupa ia berikan pada Julia, Calisa, dan Rossie.

"Sorry..." desis Syifa, air mata terjun bebas ke pipi mulusnya.

"Ini hanya sementara, Adica. Nanti aku akan menggantinya. Aku tak berani memakai hartamu, atau uang perusahaanmu untuk menutupi masalah keuangan Global Clasica Kindergarten. Biar kuselesaikan dengan milikku sendiri saja."

Satu jam lamanya rapat berlangsung. Keputusan-keputusan diambil. Tugas dibagikan. Satu menit setelah Syifa membubarkan rapat, smartphonenya berdering. Segera diraihnya benda cantik berlogo apel tergigit itu. Ternyata video call. Ah malaikat tampan bermata sipit itu rupanya.

"Syifa, kamu masih di sekolah?" sapa Calvin hangat, mengangkat alisnya saat melihat dimana Syifa.

"Iya, Calvin. Ada rapat."

"I see. Bahas masalah finansial Global Clasica ya?"

Mata Syifa melebar. Dari mana Calvin tahu? Calvin tertawa kecil melihat ekspresi wajah Syifa. Calvin terbatuk di sela tawanya.

"Kamu baik-baik saja?" ucap Syifa khawatir.

Mengabaikan pertanyaan Syifa, Calvin berkata lembut. "Kau bicara dengan Calvin Wan, yang masih terhitung sepupu jauhmu. Pria yang pernah melamarmu dan kautolak."

Pria berdarah Tionghoa itu terbatuk lagi. Satu tangannya menyeka hidung dan bibirnya dengan tissue. Sekilas Syifa melihat bercak darah.

"Calvin, benar kau tak apa-apa?" desak Syifa.

"Harusnya aku yang bertanya padamu, Syifa. Apa kau perlu bantuan? Pasti akan kubantu. Berapa pun..."

"Tidak, Calvin. Bisa kuhandel sendiri. Jangan khawatir."

Dua pasang mata beradu. Ketegaran terpancar kuat di mata Syifa. Kelembutan dan kebaikan hati Calvin pun tak sanggup menaklukkannya.

Sejak Adica meninggal, Syifa bertekad menjadi wanita tegar dan mandiri. Seakan dia tak butuh pria lagi dalam hidupnya. Semua masalah berupaya diatasinya sendiri. Puluhan lelaki kaya datang mendekat, menawarkan cinta. Tetapi semuanya Syifa tolak. Ibu muda dengan tiga orang putri itu bertahan pada prinsipnya: menjadikan Adica pria pertama dan terakhir yang boleh menikahinya.

"Ya sudah, aku tak bisa memaksamu. Itu pilihanmu. Tapi, aku akan selalu siap membantu bila kau membutuhkannya." kata Calvin akhirnya.

"Kau sudah sampai di rumah utama?" Syifa mengalihkan pembicaraan.

"Sepertinya aku tak perlu menjawab pertanyaanmu. Kau kan sudah tahu aku dimana."

**       

Kemacetan akhirnya terurai. Kendaraan-kendaraan bergerak lagi. Merayap sepelan kura-kura di ruas jalan raya. Calvin melajukan Nissan X-Trailnya. iPhonenya ia letakkan di atas dashboard. Meski dalam kondisi sakit, Calvin sudah lama tidak memakai supir pribadinya. Ia lebih memilih menyetir sendiri.

"Oh iya, bodoh sekali aku. Nanti aku menyusul ya. Aku juga ingin membantumu beres-beres."

Tak lama, video call berakhir. Calvin menghela nafas berat. Sedih mengingat dialognya dengan Syifa. Bisa ia rasakan ketegaran yang dipaksakan. Kerapuhan yang tertutupi. Ya Allah yang Maha Cinta, andai saja ia bisa membantu Syifa. Paling tidak membantu meringankan bebannya. Tetapi tak ada secelah pun kesempatan.

Calvin mengemudikan mobilnya dengan gundah. Tangan ini, ingin sekali ia gunakan untuk memeluk lembut Syifa. Mengusap air matanya. Mencegah agar kristal bening itu tak jatuh lagi. Andai saja tempat duduk kosong di sampingnya itu bisa ditempati wanita yang pernah ia lamar. Mungkin hidupnya takkan sesunyi ini.

Siapa yang mampu menolak pesona dan kebaikan hati Calvin Wan? Ternyata ada. Wanita tegar dan mandirilah yang menolaknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun