"Nope. Siapa tahu aku ingin kembali ke sini. Atau ada yang membutuhkan rumah ini."
Dalam hati, ketiga sahabat itu setuju. Apa yang diputuskan Calvin soal rumah pribadinya sudah benar. Rumah seindah ini, berhiaskan bunga, rooftop garden, dan dilengkapi kamar-kamar tidur mewah, sayang sekali kalau dijual.
"Ok, ready. Saatnya..."
"Wait." sela Calvin buru-buru, memotong perkataan Revan.
Si pria blasteran Minahasa-Turki-Portugis mengangkat alis. Mata birunya menatap bingung.
"Aku ingin main piano, sebelum pergi."
Nyaris saja kata protes berlompatan dari ujung lidah Albert. Tatapan tajam Anton dan Revan sudah lebih dari cukup untuk mencegahnya.
Mereka berempat turun ke lantai bawah. Udara dingin menyeruak, menggigiti kaki mereka sewaktu menuruni anak tangga putih. Berulang kali Calvin menggosokkan kedua tangannya. Terkadang menekapkan tangannya ke dada, seolah sangat kedinginan.
"Hei, are you ok?" bisik Revan cemas.
"I'm good." jawab Calvin lirih.
Tiba di ruang keluarga, Calvin menarik kursi ke dekat baby piano. Digerakkannya jemarinya di atas bidang hitam-putih itu. Memainkan nada demi nada dengan indah.