Pot-pot cantik yang berderet di pinggir balkon tak menghibur hatinya. Calvin lihat di layar, air mata istrinya luruh ke pipi putihnya.
"Pokoknya Ied Mubarak ini kamu harus pulang! Aku tak mau tahu!" isak istrinya di seberang sana.
"Maaf aku tidak bisa, Silvi. Aku punya tanggung jawab di sini..." Calvin meminta maaf, wajahnya penuh penyesalan.
"Merawat Dokter Tian bukan tanggung jawabmu! Al yang seharusnya..."
"Jangan berharap pada manusia, Silvi."
Klik. Tanpa diduga, wanita blasteran Jawa-Belanda itu memutus video call mereka secara sepihak. Calvin mendesah, tak tahu lagi bagaimana caranya membujuk Silvi. Mengapa urusan mau berlebaran dimana menjadi serumit ini?
Sesaat pria tampan berdarah keturunan itu terpaku. Teringat tanggung jawab utamanya, ia bergegas turun ke lantai bawah. Berusaha melupakan perbedaan pendapatnya dengan Silvi.
"Dokter Tian," sapanya hangat setiba di ruang baca.
"Sudah minum obat? Atau mau saya kupaskan apel?"
Terlihat ayah keduanya itu duduk membelakanginya. Masih berkonsentrasi dengan puisi-puisi yang ditulisnya. Calvin menarik kursi, lalu mengambil pisau dan apel. Dikupasnya apel satu per satu. Daging buah yang telah dikupas dan dikuliti ia letakkan ke piring keramik.
Selesai menulis puisinya, Dokter Tian mengalihkan fokus perhatiannya. Tersenyum berterima kasih pada Calvin. Allah Maha Membolak-balikkan Keadaan. Belasan tahun lalu, Dokter Tianlah yang merawat Calvin dengan penuh kasih sayang. Kini, mantan pasien yang justru merawat dokternya.
Sepasang mata sipit bening itu menginspeksi meja besar di depannya. Memperhatikan botol obat, buah-buahan yang belum dikupas, kue yang belum dipotong, gelas kristal berisi air putih, dan notebook. Walau pikirannya masih dipenuhi bayangan kemarahan Silvi, Calvin tetap ingin total dalam melakukan tanggung jawabnya.
"Sebentar lagi Ied Mubarak. Kamu mau tetap di sini atau pulang ke kota kelahirannya Silvi?" tanya Dokter Tian tetiba, seolah bisa membaca pikirannya.
Calvin tergeragap. Belum siap dengan jawaban. Dokter Tian menangkap sesuatu yang lain di wajah tampan itu.
"Kamu bertengkar dengan Silvi soal Ied Mubarak?" tanyanya lagi.
Sulit menyembunyikan sesuatu dari seseorang yang punya mata batin. Intuisinya kuat. Terpaksa Calvin mengangguk. Dokter Tian meletakkan tangannya di pundak pengusaha retail itu.
"Kamu sudah sangat baik pada saya. Tanggung jawab yang seharusnya bukan untukmu, kaulakukan. Tapi kamu punya tanggung jawab lain, Calvin. Kamu punya tempat untuk pulang. Tempat yang bisa kaudatangi saat kau lelah dengan masalah hidup, saat kau ingin beristirahat, dan saat hari raya."
Kata-kata Dokter Tian begitu lembut. Calvin menunduk, tercabik antara merasa bersalah dan ingin pergi.
"Pulanglah, Calvin. Lewatkan hari raya dengan istrimu. Dia pasti menginginkanmu di sisinya ketika hari kemenangan."
"Saya tak bisa meninggalkan Anda di sini. Siapa yang akan merawat Anda? Ied Mubarak nanti, siapa yang menemani Anda?"
"Jangan khawatirkan saya. Ada penjaga di langit sana yang kekuatannya tak tertandingi yang akan menjaga saya. Pulanglah, Calvin. Aselama kamu masih punya tempat untuk pulang."
Tempat untuk pulang, hati Calvin tergetar mendengarnya. Orang yang beruntung di dunia ini adalah orang yang masih punya tempat untuk pulang. Tetiba Calvin merasa marah pada Albert. Sahabat setengah bulenya itu keterlaluan. Padahal ia masih memiliki tempat untuk pulang. Pulang, sebuah akhir dari perjalanan. Sejauh-jauhnya kita pergi menjelajahi dunia, pada akhirnya toh kita akan pulang. Pulang ke tempat yang bisa kita pijaki untuk pulang dan tinggal selamanya menghabiskan sisa umur.
** Â Â Â
Takkan lelah hati ini
Menantimu kan kembali
Cintai aku lagi
Seperti waktu itu
Tak bisa kuhindari
Hatiku selalu merindu
Sayangi aku lagi
Tak mampu ku sendiri
Tanpa hadirmu, tanpa cintamu (Sania-Cintai Aku Lagi).
** Â Â Â
Berat hati Calvin menerima saran Dokter Tian. Ia sengaja berlama-lama turun dari mobil, berharap bisa menarik lagi keputusannya. Langkahnya sangat berat sewaktu memasuki pelataran bandara. Hatinya gundah luar biasa.
Selangkah demi selangkah ia kitari pelataran bandara. Bukankah mukjizat berlaku untuk siapa saja? Calvin mempercayainya, dan mengharapkannya.
Dan...mukjizat itu nyata. Tangan Tuhan turun sebagai magnet untuk menariknya tetap di sini. Pandangan Calvin tertumbuk ke arah dua orang wanita yang sangat dikenalnya. Satu seorang wanita berumur yang masih terlihat cantik, dengan gamis coklat susu. Satu lagi wanita cantik berkulit putih, bertubuh langsing, dan bermata hijaau.
"Silvi? Nyonya Tanty?" Refleks Calvin berlari ke arah mereka.
Silvi menabrak Calvin dan memeluknya erat. Koper kecilnya terjatuh. Nyonya Tanty memperhatikan tanpa kata, namun matanya bicara.
"Calvin, maafkan aku." bisik Silvi, membelai lembut rambut Calvin.
"Berjam-jam kupikirkan sikapku. Aku yang salah. Kuputuskan menyusul ke sini. Aku ingin melewati Ied Mubarak di sini, bersamamu..."
Desir hangat merayapi hati. Calvin bahagia sekali mendengar keputusan Silvi. Mesnyukuri kedewasaan pemikirannya. Dipereratnya pelukan ke tubuh istrinya, dikecupnya kening wanita itu.
"Terima kasih kamu mau mengerti aku, Silvi."
"Sama-sama, Calvin Sayang. Tak penting mau berhari raya dimana. Asalkan kita masih punya hati yang bisa kita jadikan tempat untuk pulang."
Lagi-lagi sebuah pengingat. Tempat untuk pulang adalah pengingat bagi yang pergi.
Mata Nyonya Tanty berkaca-kaca. Ia memiliki tujuan serupa dengan Silvi. Ia ingin kembali, kembali pada pria yang dicintainya. Pria lumpuh yang diinginkannya sebagai tempat untuk pulang. Sebersit harapan melintas di hati. Masihkah Dokter Tian mencintainya?
** Â Â Â
Sudut mata Calvin menangkap momen kasih dan penerimaan. Ia lihat Nyonya Tanty berlutut memegang tangan Dokter Tian di taman itu. Satu tangannya yang lain memegang untaian tasbih mutiara yang sangat cantik.
"Aku membaca puisi-puisimu...dibandingkan rosario kenang-kenangan Roger Hartman dan tasbih mutiaramu, aku menyimpan tasbih ini. Selalu kugunakan...dan selalu kurindukan pemberinya." Nyonya Tanty berbisik, air matanya meleleh.
Tangan Dokter Tian bergetar. Roger, nama yang menimbulkan efek traumatik itu disebut lagi. Nama ayah kandung Albert. Nama pria bule berdarah Jerman yang mengusirnya dari kehidupan Nyonya Tanty. Roger Hartman yang merusak relasi cinta sejati.
"Tanty, apa kamu masih bersama Roger?"
"Sejak bertahun-tahun lalu, aku tak pernah bersamanya lagi."
Bukan hanya Calvin, Silvi pun ikut memperhatikan dari jauh. Tegang dan berharap, berharap cinta akan menemukan jalannya. Dokter Tian dan Nyonya Tanty telah berpisah selama puluhan tahun. Mungkinkah mereka bisa bersatu lagi?
Kata maaf terucap dari bibir Nyonya Tanty. Maaf berpadu dengan terima kasih. Rasa terima kasih tak bertepi karena ketulusan mantan suaminya membesarkan anaknya, yang tidak memiliki ikatan biologis apa pun. Cerminan kelapangan hati seseorang yang rela membesarkan anak dari orang yang melukai hatinya begitu dalam.
Bisakah kata maaf meluluhkan hati? Ternyata bisa. Bisakah kata maaf membangkitkan cinta? Ternyata bisa. Cinta, yang menuntun pemilik hati untuk pulang ke hati yang lain.
"Kaurawat Al sendirian," tangis Nyonya Tanty, rebah di pelukan Dokter Tian.
"Kaurawat anak dari selingkuhan istrimu. Kauantar dia hingga menjadi dokter. Terima kasih...terima kasih. Aku mencintaimu, Tian."
Akhirnya, tiga kata magis itu terucap lagi. Tiga kata magis yang terucap tulus dan pernah tertahan selama puluhan tahun.
Dokter Tian dan Nyonya Tanty berpelukan. Hangat mengaliri tubuh mereka. Nyonya Tanty menyandarkan hatinya ke hati cinta sejatinya.
"Aku ingin kamu pulang, Tanty. Pulang ke sini, ke hatiku, dan tak pernah pergi lagi." Di luar dugaan, Dokter Tian meminta hal itu.
"Aku sudah pulang, Tian. Aku sudah di sini lagi...bersamamu."
Pulang, pulang ke tempat yang seharusnya. Hati orang-orang yang dicintai adalah tempat untuk pulang. Dan cinta sejati, pasti akan menemukan jalannya.
Dari tempatnya berdiri, Calvin tersenyum bahagia. Ia memotret momen penyatuan dua hati. Kau menyesal tidak ada di sini Al, pikirnya, tertawa dalam hati. Andai saja Al ada di sini, ia juga akan menemukan tempat untuk pulang.
** Â Â Â
Cinta sejati, akan menemukan jalannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H