Berat hati Calvin menerima saran Dokter Tian. Ia sengaja berlama-lama turun dari mobil, berharap bisa menarik lagi keputusannya. Langkahnya sangat berat sewaktu memasuki pelataran bandara. Hatinya gundah luar biasa.
Selangkah demi selangkah ia kitari pelataran bandara. Bukankah mukjizat berlaku untuk siapa saja? Calvin mempercayainya, dan mengharapkannya.
Dan...mukjizat itu nyata. Tangan Tuhan turun sebagai magnet untuk menariknya tetap di sini. Pandangan Calvin tertumbuk ke arah dua orang wanita yang sangat dikenalnya. Satu seorang wanita berumur yang masih terlihat cantik, dengan gamis coklat susu. Satu lagi wanita cantik berkulit putih, bertubuh langsing, dan bermata hijaau.
"Silvi? Nyonya Tanty?" Refleks Calvin berlari ke arah mereka.
Silvi menabrak Calvin dan memeluknya erat. Koper kecilnya terjatuh. Nyonya Tanty memperhatikan tanpa kata, namun matanya bicara.
"Calvin, maafkan aku." bisik Silvi, membelai lembut rambut Calvin.
"Berjam-jam kupikirkan sikapku. Aku yang salah. Kuputuskan menyusul ke sini. Aku ingin melewati Ied Mubarak di sini, bersamamu..."
Desir hangat merayapi hati. Calvin bahagia sekali mendengar keputusan Silvi. Mesnyukuri kedewasaan pemikirannya. Dipereratnya pelukan ke tubuh istrinya, dikecupnya kening wanita itu.
"Terima kasih kamu mau mengerti aku, Silvi."
"Sama-sama, Calvin Sayang. Tak penting mau berhari raya dimana. Asalkan kita masih punya hati yang bisa kita jadikan tempat untuk pulang."
Lagi-lagi sebuah pengingat. Tempat untuk pulang adalah pengingat bagi yang pergi.