"Nggaklah. Malah senang. Kita eksekusi besok pagi. Dijamin, mereka nggak bakal telat bangun sahur lagi."
Calvin mengangkat jempolnya. Bersyukur karena letak tempat tinggal teman-temannya masih dalam satu kawasan. Memudahkan alternatif mereka untuk membangunkan sahur.
** Â Â
Pelataran masjid di kompleks perumahan elite itu telah berubah seperti panggung. Kilau belasan lampu memuntahkan cahaya. Heningnya sepertiga malam menjadi meriah oleh kehadiran serombongan pemuda tampan berjas biru gelap dan gadis-gadis cantik bergaun putih membawa tongkat berbentuk bintang. Pemuda berambut pirang dan bermata biru pucat memimpin kelompok pemuda berjas biru gelap itu.
Di sudut lain, sesosok pemuda rupawan dengan jas hitam baru tiba. Kostumnya berbeda sendiri dengan teman-temannya. Pemuda itu menggerakkan sebuah tongkat di tangannya. Seperti memberi kode. Langsung saja sekumpulan milenials yang baru datang menyebar di berbagai titik. Stand by di posisi masing-masing.
"Siap, Vin?" tanya Albert, pemuda tampan berdarah Jawa-Jerman-Skotlandia yang berdiri di tengah lingkaran.
Calvin mengangguk, memberi tanda. Albert memegang timpani, Revan memegang bass. Beberapa anggota kelompok itu siap dengan bellyra/marching bell di tangan mereka. Ada pula yang memasang terompet di bibirnya. Dalam marching band, terompet digunakan untuk memainkan melodi dan soprano. Gadis-gadis bergaun putih berdiri anggun dengan stick mayoret tergenggam erat.
Sementara itu, Calvin siap di posisinya. Ia mainkan jemarinya di atas tuts piano. Albert, Revan, anggota marching band, mayoret, dan takmir masjid terpana oleh permainan piano Calvin. Calon pewaris jaringan supermarket itu memainkan piano dengan sangat sempurna. Calvin bermain musik secara solo, lalu bernyanyi.
Meski rintangan yang datang tuk menghadang cinta kita
Ku kan selalu menjagamu
Ku kan selalu di sisimu