"Guys, semua orang tahu kalau angkatan dan kelas kita kompak. Bahkan kekompakan kita dikenal departemen dan fakultas lain. Urusan besar dan kecil, akademik maupun non-akademik, kita selesaikan bersama. Termasuk soal sahur. Kita di sini sama, tapi beda. Jalan ita menuju Tuhan sama, tapi prosesnya yang beda. Di sini ada juga yang mualaf,"
Pandangan Calvin jatuh pada Tommy. Merasa kesulitannya diperhatikan, Tommy tersenyum lebar.
"Tenang, Tom. Aku juga mualaf kok. Cuma bedanya aku mualaf dari umur 10 tahun, jadi udah biasa bangun sahur. Nah, sekarang kita harus bikin cara baru biar kejadian ini nggak terulang lagi."
Para mahasiswa Non-Pribumi meneriakkan persetujuan. Mereka sepakat untuk mengganti cara baru. Di barisan tengah, seorang mahasiswa blonde dan bermata biru mengangkat tangannya.
"Kamu udah punya ide, Vin?"
"Udah, Revan. Tenang aja. Ini aku baru mau bilang idenya."
Kelegaan menebar. Bila Calvin Wan sudah punya ide, bereslah semuanya. Takkan ada kejadian terlambat bangun sahur lagi.
** Â Â Â
Mata biru Revan membelalak melihat undangan yang diposting Calvin di grup persahabatannya. Grup Whatsapp itu hanya berisi tiga orang: Calvin Wan, Revan Tendean, dan Albert Hartman.
"Ya ampun...Calvin Calvin, beginian aja pakai undangan. Dasar perfeksionis." Revan setengah tertawa, setengah memaki saat video call dengan Calvin.
"Biar lebih ok, Revan. Kamu sama Al nggak keberatan, kan?"