Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Melodi Silvi] Tiga Entitas yang Membunuh Perlahan

4 April 2018   06:01 Diperbarui: 4 April 2018   07:32 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Aku senang project penulisan bukunya sudah mulai." Revan berkata antusias, menyibakkan sedikit rambut pirangnya.

"Yups. Tinggal beberapa poin lagi, lalu selesai." Calvin menimpali.

Sambil mengobrol ringan, Calvin dan Revan berjalan-jalan menyusuri kompleks perumahan elite itu. Silvi ikut bersama mereka. Sejak tadi ia tak banyak bicara. Anak itu lebih banyak diam, kepalanya ia sandarkan ke sandaran kursi roda. Nampaknya ia masih mengantuk dan kelelahan.

"Lihat, Silvi hampir ketiduran. Kamu ngotot ajak dia jalan-jalan. Masih capek juga..." tunjuk Revan.

"Oh sorry...kupikir Silvi akan lebih segar kalau dibawa jalan-jalan. Silvi Sayang, kamu nggak apa-apa?"

Calvin membungkuk. Mendekatkan wajahnya pada Silvi. Sepasang mata biru bertemu sepasang mata sipit. Otomatis Silvi menikmati ketampanan ayahnya dari dekat.

"Nggak apa-apa kok. Cuma ngantuk aja. Semalam kan Silvi nemenin si kembar dan Rossie."

Mendengar nama anak-anak malang itu, Calvin terenyak. Lagi, ia teringat ayah dari mereka. Gegara dirinya, Papinya si kembar makin parah sakitnya. Revan menepuk pelan pundak Calvin.

"Bukan salahmu," bisiknya.

Langit biru-gelap di atas mereka perlahan semakin terang. Mereka bertiga kembali ke rumah. Gyoza telah tersaji di meja makan. Menu sarapan mereka pagi ini.

Selama sarapan, Calvin gelisah. Ia nyaris tidak menyentuh makanannya. Rasa bersalah memberati pikirannya. Memahami isi hati Calvin, Revan menyarankan agar Calvin ke rumah Adica.

"Beri dia perhatian, dekati dan perlakukan dia seperti dulu kauperlakukan dia sebagai kakak dan adik. Dia juga butuh kamu."

"Tapi..."

"Biar aku yang urus Silvi hari ini. Kamu tenang saja."

Keraguannya terurai. Ia bangkit, mendorong kursinya ke belakang. Mengecup kening Silvi dan bergegas pergi. Silvi menatap nanar kepergian Calvin, Revan memeluk pundaknya hangat. Calvin mempercayakan Silvi pada Revan, tentu ada alasannya. Tak mungkin ia serahkan putrinya ke tangan yang salah. Lama mengenal Revan, Calvin tahu kalau pria bermata biru itu penyayang anak-anak. Sifat yang melekat pada kebanyakan pria Turki. Alhasil ia mudah saja mempercayakan Silvi ke tangan sahabatnya itu.

**      

Pagi begitu dingin dan berkabut. Udara dingin begini, Adica justru naik ke balkon dan melewatkan kesendiriannya di sana. Angin berdesis kencang, memainkan rambutnya. Ia tatap langit dengan hampa. Berharap sedihnya pergi bersama deru angin.

Pintu kaca terbuka. Syifa berjalan masuk. Meletakkan nampan berisi roti, susu, buah-buahan, dan obat. Lalu berjalan ke sisi suaminya. Merangkul pinggangnya.

"Sayang, di sini dingin sekali." ucap Syifa lembut.

Adica dan Syifa bertemu pandang. Kebisuan belum terpecah juga. Entah, sejak peristiwa itu, relasi mereka seolah menjadi begitu jauh, kaku, dan misterius. Ironis sekali. Banyak orang menganggap Adica dan Syifa sebagai pasangan serasi. Terlihat romantis, bahagia, dan sempurna. Namun kini kenyataan tak seindah persepsi publik.

"Apa kamu masih akan peduli kalau aku sakit?" tanya Adica tetiba.

"Tentu saja. Lebih dari sekadar peduli. Aku mencintaimu, Adica."

Kata demi kata menyelusup halus. Hati Adica berdesir. Belum sempat desiran itu pergi, pintu kembali terbuka. Kali ini Calvin yang datang.

"Selamat pagi," sapanya hangat. Kontras dengan dinginnya udara pagi ini.

Syifa dan Adica balas menyapa nyaris bersamaan. "Well, tadi kulihat Rossie dan si kembar bersiap-siap ke sekolah. Siapa yang akan mengantar mereka?"

Refleks Syifa menepuk dahinya. Baru ingat kalau supir keluarga minta cuti seminggu. Sementara itu, Adica meraih kunci mobilnya. Lupa pada kondisinya sendiri.

"No...no. Biar aku saja, Adica Sayang." Cegah Syifa, merebut paksa kunci mobil.

Ayah kandung si kembar itu mendesah. Membiarkan sang istri mengambil kunci mobil, mencium kedua pipinya, lalu meninggalkan balkon. Kini hanya ada Calvin dan Adica. Sepasang sepupu tampan itu berdiri berhadapan.

"Bagaimana keadaanmu pagi ini, Adica?" tanya Calvin penuh perhatian.

"Sudah lebih baik. Paling tidak, rasa sakitnya berkurang." Adica menjawab apa adanya.

"That's good. Makanlah, lalu minum obat. Hari ini, waktuku untuk adik angkatku tersayang."

Sesuatu yang lembut menyentuh hati. Ya, Adica dan Calvin lebih dari sepupu. Mereka kakak-beradik. Kakak-adik yang saling menyayangi dan mencintai setulus hati. Calvin datang membawa energi positif, energi kasih, energi cinta. Adica masih bisa merasakan aura seorang kakak penyayang dalam diri Calvin.

Menit-menit berlalu dalam kesunyian. Dengan sabar, Calvin menunggu Adica menghabiskan makanan dan obatnya. Barulah setelah itu dia angkat bicara.

"Adica, aku minta maaf kalau ada salah. Saat mengetahui penyakitmu, aku terpukul. Kukira hanya diriku yang punya penyakit serius dalam keluarga. Ternyata...kamu juga."

Hening. Adica mendengarkan, tak sedikit pun ingin menyela. Calvin meneruskan.

"Aku sangat menyayangimu. Orang yang tulus tidak akan merusak kebahagiaan orang yang disayanginya. So, mana mungkin kurebut Syifa darimu? Apa yang kaulihat sore itu tidak seperti persepsimu. Syifa hanya membantuku, karena saat itu hidungku berdarah. Epistaksis lagi..."

Hati Adica mendingin. Benarkah ini hanya salah paham? Namun, sekali lagi karena begitu besarnya cinta, ia tak mampu marah pada Calvin dan Syifa. Cinta menghalangi amarah.

**     

Harusnya engkau mengerti

Sakitnya dikhianati

Ku tak pernah bisa membayangkan hari-hari tanpamu

Aku lelah

Aku jera

Aku rasa cinta tak berguna

Ingin pergi tapi tak bisa

Hatiku masih milikmu

Hatiku masih milikmu (Bunga Citra Lestari-Jera Hatiku Masih Milikmu).

Menyanyikan lagu itu, memainkannya dengan piano, ternyata mengirimkan rasa sakit luar biasa. Tak hanya di hatinya, tetapi juga di dada sebelah kirinya. Sakit, sakit sekali. Amarah ini, kecewa ini, hanya tertahan di dalam jiwa lantaran kebesaran cinta.

"Adica, jangan bawakan lagu itu lagi." pinta Calvin.

"Apa salahnya?"

"Lagu itu mengingatkanmu pada kesalahpahaman antara dirimu, Syifa, dan aku."

Seraut wajah rupawan itu sedikit tertunduk. Masih layakkah ini disebut salah paham? Entah, Adica sulit mempercayai penjelasan Calvin. Ia lebih mempercayai apa yang dilihatnya.

"Kamu pasti ada masalah lain. Tell me, please. Apa aku ini kakak yang gagal? Sampai-sampai kamu tak mau cerita?" desak Calvin.

"Bukan begitu, Calvin. Kamu kakak terbaik. Kakak yang sempurna. Tapi...ini demi menjaga nama baik staf-stafmu." Dalam keadaan begitu pun, Adica masih mempunyai kesan baik tentang Calvin.

"Firasatku benar. Pasti berkaitan dengan perusahaan. Ada apa, Adica? Ceritakanlah."

Dari arah tangga, Syifa berlari menghampiri mereka. Matanya berkaca-kaca. Setengah terisak ia melempar diri ke pelukan Adica.

"Sayang, kenapa kamu menutupi semuanya? Kamu lebih percaya pada literasi digital dibandingkan pada istrimu sendiri?"

Membelai lembut rambut Syifa, Adica kebingungan. Ia tersadar saat melihat tab yang menampilkan laman blog pribadinya. Cepat-cepat Calvin merebut tab itu. Terungkaplah semuanya.

Adica mencurahkan permasalahan dan isi hati dalam blog pribadinya. Semuanya ia tuliskan di sana. Membaca tulisan demi tulisan, Calvin kian terpukul.

Jabatan Direktur Utama: Bukan Keinginan, Tetapi Amanah

Sejak menjabat sebagai direktur utama di perusahaan retail itu, hati saya gelisah. Mengapa Calvin memilih saya? Amanah ini sungguh berat. Sementara saya menduduki kursi direktur utama, Calvin lebih banyak berkiprah sebagai komisaris utama. Rasanya saya tak pantas menduduki jabatan itu.

Rupanya sugesti saya diperkuat oleh ketidaksukaan para karyawan. Sebagian besar karyawan tidak menyukai saya. Sampai-sampai ada orang dalam yang ingin menjatuhkan saya. Tanpa sengaja saya mendengar dia dan temannya merencanakan cara menjatuhkan saya dari kursi direktur.

Lama-lama saya bisa frustrasi. Jika bukan karena Calvin dan orang-orang yang dicintai, saya takkan mau menerima jabatan direktur utama. Amanah ini seperti entitas yang membunuh saya perlahan...

Calvin tertegun membaca salah satu tulisan sepupunya. Benaknya menarik konklusi. Bukan hanya satu, melainkan tiga entitas yang membunuhnya perlahan-lahan: amanah yang menekan, penyakit Heart failure, dan cinta. Cinta yang berujung salah paham.

"I feel sorry for you." ujar Calvin sedih.

Syifa belum berhenti menangis. Pelukan Adica bertambah erat. Dengan suara bergetar, Calvin bertanya. "Siapa orang dalam yang ingin menjatuhkanmu?"

Wajah Adica memucat. Rasa dingin menjalari sekujur tubuhnya. Tak siap menghadapi tatapan tegas dari mata kakak angkatnya. Calvin terus mendesak. Akhirnya ia menyebut satu nama.

**      

Atmosfer ketegangan melingkupi ruangan mewah berkarpet tebal itu. Calvin berdiri tegap, nampak gagah dan menawan dalam setelan jas Dolce and Gabbana.

"Saya sudah pelajari rekaman dan track recordmu di kantor, Sihar." kata Calvin tenang dan berwibawa. "Jujur, saya kecewa sekali denganmu. Otak brilian, kinerja bagus. Tapi ada bibit culas dalam hatimu. Dunia kerja memang kejam. Bukan begitu bentuk persaingan yang sehat."

Tak nampak kemarahan. Hanya kekecewaan yang dingin. Hal itu jauh lebih menakutkan dibanding teriak kemarahan. Lelaki berkemeja dark brown itu nyata sekali gemetar ketakutan.

"Menghalalkan segala cara bukanlah cerminan pekerja teladan. Kamu memfitnah adik saya sebagai pemimpin perusahaan yang tidak baik. Bahkan kamu menggelembungkan isu kalau adik saya korupsi. Yang kaulakukan itu sama sekali tidak terpuji, Sihar. Dan inilah alasan saya memanggilmu jauh-jauh dari Denpasar ke sini. Saya tidak ingin ada oknum-oknum culas sepertimu di perusahaan saya. Apa yang kaulakukan merugikan dirimu sendiri, Adica, saya, dan nama baik perusahaan."

Kursi yang diduduki lelaki culas itu gemeretak. Sejurus kemudian Calvin melanjutkan.

"Kamu pikir, bila rencanamu berhasil, kamu akan jauh lebih baik dari Adica? Saya pikir tidak. Sesuatu yang didapatkan dengan cara tidak baik, akan menghasilkan hal yang buruk. Perlu kautahu satu hal: Adica seratus kali lipat lebih baik darimu. Saya akan tetap mempertahankan adik saya di perusahaan, sekalipun harus menghadapi seratus oknum macam kamu."

Lelaki bernama Sihar itu menatap lantai. Mana berani ia membalas tatapan tajam Calvin?

"Sekali ini, kamu saya maafkan. Namun jika terulang lagi, saya tak akan berpikir dua kali untuk memecatmu."

Tegas, kharismatik, dan berwibawa. Aura Calvin Wan yang sesungguhnya tersingkap. Aura yang terdorong oleh kekuatan cinta. Ia lakukan ini semata demi rasa cinta pada adik angkatnya. Praktis terpancarlah aura yang sebenarnya.

"Bekerja dengan jujur jauh lebih terhormat dibanding memfitnah pimpinan untuk menjatuhkannya."

Calvin mengakhiri, lalu berbalik angkuh meninggalkan ruangan. Tegurannya sudah cukup. Satu entitas pembunuh yang mengancam nyawa Adica telah dienyahkan.

**      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun