"Beri dia perhatian, dekati dan perlakukan dia seperti dulu kauperlakukan dia sebagai kakak dan adik. Dia juga butuh kamu."
"Tapi..."
"Biar aku yang urus Silvi hari ini. Kamu tenang saja."
Keraguannya terurai. Ia bangkit, mendorong kursinya ke belakang. Mengecup kening Silvi dan bergegas pergi. Silvi menatap nanar kepergian Calvin, Revan memeluk pundaknya hangat. Calvin mempercayakan Silvi pada Revan, tentu ada alasannya. Tak mungkin ia serahkan putrinya ke tangan yang salah. Lama mengenal Revan, Calvin tahu kalau pria bermata biru itu penyayang anak-anak. Sifat yang melekat pada kebanyakan pria Turki. Alhasil ia mudah saja mempercayakan Silvi ke tangan sahabatnya itu.
** Â Â Â
Pagi begitu dingin dan berkabut. Udara dingin begini, Adica justru naik ke balkon dan melewatkan kesendiriannya di sana. Angin berdesis kencang, memainkan rambutnya. Ia tatap langit dengan hampa. Berharap sedihnya pergi bersama deru angin.
Pintu kaca terbuka. Syifa berjalan masuk. Meletakkan nampan berisi roti, susu, buah-buahan, dan obat. Lalu berjalan ke sisi suaminya. Merangkul pinggangnya.
"Sayang, di sini dingin sekali." ucap Syifa lembut.
Adica dan Syifa bertemu pandang. Kebisuan belum terpecah juga. Entah, sejak peristiwa itu, relasi mereka seolah menjadi begitu jauh, kaku, dan misterius. Ironis sekali. Banyak orang menganggap Adica dan Syifa sebagai pasangan serasi. Terlihat romantis, bahagia, dan sempurna. Namun kini kenyataan tak seindah persepsi publik.
"Apa kamu masih akan peduli kalau aku sakit?" tanya Adica tetiba.
"Tentu saja. Lebih dari sekadar peduli. Aku mencintaimu, Adica."