"Aku senang project penulisan bukunya sudah mulai." Revan berkata antusias, menyibakkan sedikit rambut pirangnya.
"Yups. Tinggal beberapa poin lagi, lalu selesai." Calvin menimpali.
Sambil mengobrol ringan, Calvin dan Revan berjalan-jalan menyusuri kompleks perumahan elite itu. Silvi ikut bersama mereka. Sejak tadi ia tak banyak bicara. Anak itu lebih banyak diam, kepalanya ia sandarkan ke sandaran kursi roda. Nampaknya ia masih mengantuk dan kelelahan.
"Lihat, Silvi hampir ketiduran. Kamu ngotot ajak dia jalan-jalan. Masih capek juga..." tunjuk Revan.
"Oh sorry...kupikir Silvi akan lebih segar kalau dibawa jalan-jalan. Silvi Sayang, kamu nggak apa-apa?"
Calvin membungkuk. Mendekatkan wajahnya pada Silvi. Sepasang mata biru bertemu sepasang mata sipit. Otomatis Silvi menikmati ketampanan ayahnya dari dekat.
"Nggak apa-apa kok. Cuma ngantuk aja. Semalam kan Silvi nemenin si kembar dan Rossie."
Mendengar nama anak-anak malang itu, Calvin terenyak. Lagi, ia teringat ayah dari mereka. Gegara dirinya, Papinya si kembar makin parah sakitnya. Revan menepuk pelan pundak Calvin.
"Bukan salahmu," bisiknya.
Langit biru-gelap di atas mereka perlahan semakin terang. Mereka bertiga kembali ke rumah. Gyoza telah tersaji di meja makan. Menu sarapan mereka pagi ini.
Selama sarapan, Calvin gelisah. Ia nyaris tidak menyentuh makanannya. Rasa bersalah memberati pikirannya. Memahami isi hati Calvin, Revan menyarankan agar Calvin ke rumah Adica.