Anak-anak tetaplah anak-anak. Di satu waktu, mereka bisa menangis sekeras mungkin. Di waktu lainnya, mereka bisa menjadi sangat polos dan ceria.
"Itu milikku! Kembalikan, Rossie!"
"Nggak mau! Nggak mau!"
Calisa dan Rossie berkejaran. Berebut boneka, perkara kecil sebenarnya. Namun lain lagi ceritanya bila sudah terjadi perebutan.
"Berisik! Kayak Tom and Jerry aja, berantem mulu!" geram Julia dari atas ayunan.
Mendengar itu, adik kembarnya berbalik. Menatap marah ke arah Julia.
"Jahat, jahat, jahat! Bukannya bantuin, malah ngatain kayak Tom and Jerry! Kalo kayak gitu, aku nggak mau jadi Jerry! Aku maunya jadi Tom aja!" Calisa mengomel panjang, mengentakkan kakinya.
Dengan tenang, Julia membalik halaman bukunya. "Coba dong, sekali-sekali kayak Spongebob sama Patrick."
Dua anak yang tengah berebut boneka itu menjulurkan lidah. Hampir bersamaan mereka berseru,
"Aku nggak mau jadi Patrick!"
Julia tertawa geli mendengarnya. Lalu kembali membaca buku. Membiarkan saja adik-adiknya rebutan boneka.
Jangan samakan Julia, Calisa, dan Rossie seperti kids zaman now lainnya. Mereka tak pernah didekatkan dengan gadget. Adica dan Syifa memberikan mereka boneka, puzzle, buku, dan seperangkat permainan edukatif lainnya sebagai pengganti. Praktis mereka tidak pernah tertarik bermain game di ponsel pintar, tablet, dan laptop. Tiga anak yang masih polos, tidak terkontaminasi pengaruh gadget.
Bruk!
Bunyi sesuatu terjatuh ke tanah menyadarkan Julia. Ia menurunkan bukunya, terbelalak kaget. Kedua adiknya jatuh. Boneka cantik berwarna soft pink yang mereka perebutkan bergulingan menjauh.
"Papiii!" Rossie berteriak kesakitan sambil menangis. Lupa kalau Papinya berada jauh di Pulau Dewata.
"Dasar cengeng! Gitu aja nangis! Papi udah nggak di sini tauuu!" cetus Calisa, perlahan bangkit dari tanah.
"Terus Papi dimana?"
"Papi ada di Bali, Sayang."
Sebuah suara lembut mengalihkan perhatian mereka. Syifa berjalan dari pintu samping. Lembut mengangkat tubuh mungil Rossie.
"Oh iya, Rossie lupa. Mami, kapan Papi pulang?" tanya Rossie manja.
"Kalo Papi ada waktu, pasti Papi pulang. Sudah ya, jangan menangis lagi. Mami bikin strawberry shortcake buat kamu, Sayang. Masuk yuk."
Berhasil juga Syifa menenangkan Rossie. Dilambaikannya tangan pada Julia dan Calisa. Mengisyaratkan putri kembarnya masuk ke dalam.
** Â Â
Gadis cantik bermata biru itu duduk bertopang dagu. Mengedarkan pandang ke sekeliling ruang makan mungil bercat krem itu. Kursi-kursi berderet rapi mengelilingi meja. Empat gelas besar susu coklat dan segelas teh tersaji di tengah meja. Tepat di antara piring keramik yang dipenuhi strawberry shortcake dan teko perak berisi susu.
Samar didengarnya derap langkah berlari. Julia, Calisa, dan Rossie masuk ke ruang makan. Menghambur ke kursi favorit mereka. Syifa melangkah mengikuti. Tersenyum sabar mengawasi tingkah ketiga putrinya.
Mereka pun mulai sarapan. Julia dan Rossie tanpa ragu memuji kelezatan masakan Syifa. Sementara Calisa lebih banyak mengajak ngobrol gadis bermata biru di atas kursi roda itu.
"Silvi, dimakan dong. Kuenya enak. Mami yang buatin." bujuk Calisa halus.
Senyum ceria ketiga putri cantik Adica dan Syifa amat kontras dengan wajah murung Silvi. Pelan ia mengambil sepotong kue. Memakannya tanpa selera.
"Kenapa, Sayang? Kuenya nggak enak ya?" Syifa bertanya lembut.
"Enak kok, Auntie. Silvi cuma..."
Kata-katanya terpotong. Ponsel berbunyi. Syifa berseru senang, disusul jeritan ketiga buah hatinya.
"Papiii!"
Video call di pagi hari. Betapa senangnya. Silvi dapat mendengar jelas suara-suara ceria itu. Suara tawa, percakapan ringan, ungkapan rindu yang dilempar tanpa malu. Bibirnya ia gigit kuat-kuat. Sepupunya beruntung memiliki ayah yang sangat peduli. Sedangkan dirinya? Ayahnya saja tak pernah peduli padanya.
Kedua tangan Silvi terkepal. Air matanya meleleh. Diletakkannya kembali potongan kue yang baru separuh dimakan. Kecewa, benci, dan rindu mengaduk-aduk benaknya. Jauh di dalam hati, Silvi Mauriska merindu Calvin Wan.
Andai saja ia bertukar ayah dengan tiga sepupunya. Mungkin ceritanya akan berbeda. Di mata Silvi, Adica masih menempati posisi sebagai sosok ayah yang sangat baik. Kalah jauh dengan Calvin. Sering Silvi lihat perhatian dan ketulusan Adica pada anak-anaknya. Waktu, materi, dan cinta. Semuanya ia berikan. Mungkin benar bahwa rumput tetangga lebih hijau.
Merasa tak ada yang memperhatikan, Silvi memutar kursi rodanya. Menggerakkannya ke pintu. Sementara empat perempuan berbeda usia di meja makan masih sibuk menumpahkan rindu pada lelaki spesial bagi mereka di seberang sana.
Suara derit kursi roda dan bantingan pintu menghempaskan Syifa dari langit kebahagiaan. Ia tersadar, lalu berteriak kecil melihat Silvi sudah tak ada lagi.
"Silvi! Silvi!" serunya panik.
"Ada apa, Syifa Sayang? Silvi kenapa?" tanya Adica, menatap istrinya penuh tanya.
"Silvi menghilang, Adica. Sesaat tadi dia masih di sampingku. Oh my God..." Syifa menutup wajahnya, memejamkan mata.
Ketiga putri kecilnya lebih cepat tanggap. Mereka berlari ke luar ruang makan.
"Finding Silvi!" Julia, Calisa, dan Rossie meneriakkan kata-kata itu di sela langkah kecil mereka.
Sedetik berikutnya Syifa berlari menyusul mereka. Takkan dibiarkannya keponakan cantiknya pergi sendirian.
** Â Â Â
Sungguh hanyalah dirimu yang aku cintai
Dan sungguh ku kan di sisimu hingga ku mati
Meski waktu akan mampu
Memanggil seluruh ragaku
Kuingin kau tahu
Ku selalu milikmu
Yang mencintaimu
Sepanjang hidupku (Tercipta Untukku-ost ending Ayat-Ayat Cinta bagian pertama).
** Â Â Â
Mengabaikan protes ketiga sahabatnya, Calvin nekat membawa mobilnya. Pagi ini ia keluar dari rumah sakit. Lepas dari bangunan putih itu, ia kemudikan Nissan X-Trailnya.
Langit mendung menyapa. Awan hitam berkejaran. Angin dingin berhembus tajam. Para pengguna jalan ketakutan. Berlomba-lomba tiba secepatnya di tempat tujuan.
Gerbang kompleks perumahan elite tempat tinggalnya dia lewati. Tak sabar rasanya segera bertemu Silvi. Sedikit ia naikkan kecepatan mobilnya. Di tikungan depan sebuah blok, ia terpaku. Sebuah kursi roda melaju di tepi jalan. Didorong dengan cepat oleh sepasang tangan mungil. Calvin mengenalinya, sangat mengenalinya.
Tidak, ia tak boleh mengulang kesalahan yang sama. Pemakai kursi roda itu tidak boleh celaka lagi gegara kesalahannya. Rem mobil berdecit panjang. Terburu-buru pria tampan itu turun dari mobil.
"Silvi...kenapa kamu di sini, Sayang?" tanyanya seraya membungkuk di depan kursi roda.
Air muka Silvi makin keruh. Ia menunduk, memainkan kunciran rambutnya.
"Ayah mau nabrak Silvi lagi? Ayah mau bunuh Silvi?" teriaknya marah.
"Tidak, Sayang. Sama sekali tidak. Tadinya Ayah mau jemput Silvi di rumah Auntie Syifa. Tapi..."
"Bohong! Ayah pasti mau buat Silvi kecelakaan lagi kayak waktu itu!"
Jemari tangan Silvi bergetar saat ia menunjuk kedua kakinya. Kaki yang telah lumpuh. Tak mungkin disembuhkan lagi. Calvin menatap sendu putrinya. Ya Allah, dialah penyebab lumpuhnya kedua kaki itu.
"Gara-gara Ayah, Silvi lumpuh! Silvi nggak bisa jadi model lagi! Silvi benci Ayah!"
Sekali lagi, kata-kata kebencian itu terlompat dari bibir Silvi. Calvin terenyak. Hatinya sedih luar biasa. Kesalahannyalah Silvi lumpuh. Parahnya, ia malah meninggalkan Silvi setelah kecelakaan itu dan membiarkan Tuan Effendi yang mengasuhnya.
"Maaf, Silvi. Ayah minta maaf. Sekaranglah saatnya Ayah menebus semuanya." Seraya berkata begitu, Calvin mengubah posisinya. Berlutut di depan kursi roda, dipeluknya putri satu-satunya erat.
"Ayah sayang sekali sama Silvi. Ayah nggak akan tinggalkan Silvi lagi." Penuh kesungguhan Calvin mengatakannya. Silvi tak merespon. Ia biarkan saja sang ayah mendekap dan menciumi puncak kepalanya.
"Ayah rela, bila sisa hidup Ayah habis untuk menemani Silvi. Ayah akan temani Silvi, selama sisa hidup." ujar Calvin, tulus dan dalam.
Silvi tertegun. Mengapa ayahnya mengucapkan kata-kata penebar firasat? Seolah waktunya tak lama lagi. Sesuatu di dalam hatinya runtuh perlahan. Tembok kebencian roboh menjadi puing.
Setitik air mata menetes. Titik-titik air mata makin banyak terjatuh membasahi pipi Silvi. Ia rebah di pelukan Calvin. Sulit sekali untuk tidak mempercayai ketulusan ayahnya. Tulusnya cinta Calvin, ada di depan mata.
"Ok fine, Ayah memang tidak seperti Uncle Adica. I'm not perfect, Dear. But...I truely, deeply, and genuinely love you."
Calvin tak sesempurna yang diharapkan Silvi. Namun cintanya untuk Silvi sempurna.
** Â Â Â
https://www.youtube.com/watch?v=aAIPj2NOUGQ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H