Gerbang kompleks perumahan elite tempat tinggalnya dia lewati. Tak sabar rasanya segera bertemu Silvi. Sedikit ia naikkan kecepatan mobilnya. Di tikungan depan sebuah blok, ia terpaku. Sebuah kursi roda melaju di tepi jalan. Didorong dengan cepat oleh sepasang tangan mungil. Calvin mengenalinya, sangat mengenalinya.
Tidak, ia tak boleh mengulang kesalahan yang sama. Pemakai kursi roda itu tidak boleh celaka lagi gegara kesalahannya. Rem mobil berdecit panjang. Terburu-buru pria tampan itu turun dari mobil.
"Silvi...kenapa kamu di sini, Sayang?" tanyanya seraya membungkuk di depan kursi roda.
Air muka Silvi makin keruh. Ia menunduk, memainkan kunciran rambutnya.
"Ayah mau nabrak Silvi lagi? Ayah mau bunuh Silvi?" teriaknya marah.
"Tidak, Sayang. Sama sekali tidak. Tadinya Ayah mau jemput Silvi di rumah Auntie Syifa. Tapi..."
"Bohong! Ayah pasti mau buat Silvi kecelakaan lagi kayak waktu itu!"
Jemari tangan Silvi bergetar saat ia menunjuk kedua kakinya. Kaki yang telah lumpuh. Tak mungkin disembuhkan lagi. Calvin menatap sendu putrinya. Ya Allah, dialah penyebab lumpuhnya kedua kaki itu.
"Gara-gara Ayah, Silvi lumpuh! Silvi nggak bisa jadi model lagi! Silvi benci Ayah!"
Sekali lagi, kata-kata kebencian itu terlompat dari bibir Silvi. Calvin terenyak. Hatinya sedih luar biasa. Kesalahannyalah Silvi lumpuh. Parahnya, ia malah meninggalkan Silvi setelah kecelakaan itu dan membiarkan Tuan Effendi yang mengasuhnya.
"Maaf, Silvi. Ayah minta maaf. Sekaranglah saatnya Ayah menebus semuanya." Seraya berkata begitu, Calvin mengubah posisinya. Berlutut di depan kursi roda, dipeluknya putri satu-satunya erat.