"Ayah sayang sekali sama Silvi. Ayah nggak akan tinggalkan Silvi lagi." Penuh kesungguhan Calvin mengatakannya. Silvi tak merespon. Ia biarkan saja sang ayah mendekap dan menciumi puncak kepalanya.
"Ayah rela, bila sisa hidup Ayah habis untuk menemani Silvi. Ayah akan temani Silvi, selama sisa hidup." ujar Calvin, tulus dan dalam.
Silvi tertegun. Mengapa ayahnya mengucapkan kata-kata penebar firasat? Seolah waktunya tak lama lagi. Sesuatu di dalam hatinya runtuh perlahan. Tembok kebencian roboh menjadi puing.
Setitik air mata menetes. Titik-titik air mata makin banyak terjatuh membasahi pipi Silvi. Ia rebah di pelukan Calvin. Sulit sekali untuk tidak mempercayai ketulusan ayahnya. Tulusnya cinta Calvin, ada di depan mata.
"Ok fine, Ayah memang tidak seperti Uncle Adica. I'm not perfect, Dear. But...I truely, deeply, and genuinely love you."
Calvin tak sesempurna yang diharapkan Silvi. Namun cintanya untuk Silvi sempurna.
** Â Â Â
https://www.youtube.com/watch?v=aAIPj2NOUGQ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H