Kedua tangan Silvi terkepal. Air matanya meleleh. Diletakkannya kembali potongan kue yang baru separuh dimakan. Kecewa, benci, dan rindu mengaduk-aduk benaknya. Jauh di dalam hati, Silvi Mauriska merindu Calvin Wan.
Andai saja ia bertukar ayah dengan tiga sepupunya. Mungkin ceritanya akan berbeda. Di mata Silvi, Adica masih menempati posisi sebagai sosok ayah yang sangat baik. Kalah jauh dengan Calvin. Sering Silvi lihat perhatian dan ketulusan Adica pada anak-anaknya. Waktu, materi, dan cinta. Semuanya ia berikan. Mungkin benar bahwa rumput tetangga lebih hijau.
Merasa tak ada yang memperhatikan, Silvi memutar kursi rodanya. Menggerakkannya ke pintu. Sementara empat perempuan berbeda usia di meja makan masih sibuk menumpahkan rindu pada lelaki spesial bagi mereka di seberang sana.
Suara derit kursi roda dan bantingan pintu menghempaskan Syifa dari langit kebahagiaan. Ia tersadar, lalu berteriak kecil melihat Silvi sudah tak ada lagi.
"Silvi! Silvi!" serunya panik.
"Ada apa, Syifa Sayang? Silvi kenapa?" tanya Adica, menatap istrinya penuh tanya.
"Silvi menghilang, Adica. Sesaat tadi dia masih di sampingku. Oh my God..." Syifa menutup wajahnya, memejamkan mata.
Ketiga putri kecilnya lebih cepat tanggap. Mereka berlari ke luar ruang makan.
"Finding Silvi!" Julia, Calisa, dan Rossie meneriakkan kata-kata itu di sela langkah kecil mereka.
Sedetik berikutnya Syifa berlari menyusul mereka. Takkan dibiarkannya keponakan cantiknya pergi sendirian.
** Â Â Â