Tubuhnya penat, tapi hatinya ringan. Bahagia sekali bisa turun tangan langsung menghadapi customer. Begini rasanya berinteraksi dengan customer tanpa berjarak.
Senyumnya memudar seketika. Rasa sakit itu hadir lagi. Datang tanpa permisi. Ginjal yang digerogoti sel kanker menunjukkan perlawanan. Protes atas kerja keras pemiliknya.
"Calvin, kamu baik-baik saja?" tanya Revan cemas. Kekhawatiran tercermin di mata birunya.
Seraut wajah tampan itu pucat pasi. Sorot kesakitan terpancar di mata sipitnya.
"Revan...jangan beri tahu Silvi." Calvin berkata perlahan di sela kesakitannya.
Tubuh semampai itu jatuh. Jatuh ke lantai karena rasa sakit.
** Â Â Â
Jam praktiknya sudah berakhir. Namun Albert masih di sini. Berjalan ke ruangan direktur rumah sakit. Ruangan ayahnya.
Ketukan pintu berbalas sambutan dari dalam. Seorang pria setengah baya berjas putih dan berwajah alim menyambutnya. Tersenyum dengan sikap fatherly. Mengisyaratkan putra tunggalnya duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan meja besar dan berwibawa itu.
"Ada apa Papa memanggilku?"
Dokter Rustian melepas kacamatanya. Menyandarkan tubuhnya di kursi.