Hening, hening yang sangat pekat dan menekan. Hati meraba, menyentuh satu kemungkinan. Sesungguhnya, ada alasan lain yang lebih besar.
"Mana mungkin aku tega menikahi Chantika sementara Calvin sakit parah dan membutuhkan penangananku?" tandas Albert retoris.
"Papa mengerti, Albert. Sekarang ini prioritasmu adalah Calvin. Tapi, jangan lupakan Chantika. Baik Calvin maupun Chantika sama-sama membutuhkanmu."
Albert mengangguk. Letih dengan urusan ini. Calvin dan Chantika. Memilih antara sahabat dan cinta sungguh sulit.
Penuh kasih, Dokter Rustian menatapi wajah Albert. Putranya yang rupawan, hasil percampuran darah Jawa-Jerman-Skotlandia. Permata hatinya, satu-satunya harta miliknya yang tak ternilai.
"Pa, boleh Albert tanya sesuatu?"
"Tanyakan saja, Nak."
Butuh beberapa detik bagi Albert untuk mengumpulkan keberanian dan melontarkan pertanyaan.
"Mengapa Papa menyayangiku? Mengapa Papa peduli padaku? Aku bukan darah daging Papa. Aku hanyalah anak buangan yang ditinggalkan Mama tanpa tanggung jawab di pelukan Papa."
Tidak adakah pertanyaan yang lebih baik? Masih saja Albert memandang negatif dirinya sendiri.
"Haruskah Papa menjawabnya?" Dokter Rustian balik bertanya.