"Papa ingin bicara denganmu," Ia memulai, memandang Albert lekat.
"Ini soal Chantika."
Mendengar nama itu disebut, Albert terenyak. Sepotong nama yang menggetarkan hatinya. Dokter Rustian tersenyum kecil melihat perubahan ekspresi wajah anaknya.
"Kapan kamu mau menikahi dia?"
Pertanyaan sulit. Tanpa sadar Albert menggigit bibirnya. Wajah Chantika terbayang di pelupuk mata. Wajah jelita itu, dan pemiliknya, selalu berhasil membuat hati dan jiwanya bergetar.
"Aku akan menikahinya, Pa. Tapi tidak sekarang." sahut Albert.
"Kenapa? Kamu mau menyia-nyiakan cinta gadis sebaik Chantika?" desak Dokter Rustian, tapi tetap lembut.
"Bukan...bukan begitu. Aku menunggu ketiga sahabatku menikah. Sangat tidak adil dan tidak solid bila aku menikah mendahului mereka." Cepat-cepat Albert menjelaskan.
Jawaban Albert ditingkahi desahan pasrah direktur rumah sakit penyuka puisi itu. Tak habis pikir dengan anak lelakinya. Begitulah jadinya bila bersahabat terlalu dekat. Persahabatan adalah harga mati.
"Chantika butuh kamu, Nak." ucap Dokter Rustian lembut.
"Aku tahu. Masih ada satu alasan lagi. Ini tentang Calvin."