"Arif...Alhamdulillah. Aku bisa ketemu kamu. Aku bisa sampai ke sini."
Chantika Hellena Natawijaya. Gadis berdarah Tionghoa berparas cantik dan berhati lembut. Ia seorang mualaf. Seluruh keluarganya beragama Katolik. Ayahnya mantan Pastor. Namun karena masalah keluarga, ia lepas jubah dan menjadi awam. Chantika satu-satunya orang yang memanggil Albert dengan nama depannya.
"Masya Allah...Chantika." Albert bergumam lirih. Mengusap rambut panjang gadis itu. Dapat ia lihat dua luka memanjang di pipi Chantika.
"Maafkan aku, Arif. Aku tidak bermaksud mengganggumu...sama sekali tidak. Aku kabbur dari rumah. Satu-satunya tempat aman yang terpikir olehku adalah tempat dimana kamu berada. Aku mencarimu...aku takut, Arif. Takut sekali."
Chantika rebah di pelukan Albert. Membasahi jas putih Albert dengan air matanya. Albert memeluk Chantika erat. Disandarkannya kepala gadis itu ke dadanya. Kata-kata sang Papa berputar tak henti. Calvin, Chantika. Calvin, Chantika. Dua-duanya membutuhkannya.
"Kamu yang pertama dan terakhir, Arif. Aku akan tunggu kamu sampai kapan pun. Sesaat tadi aku hanya tak tahu dimanakah tempat yang aman. Semua tempat sama saja. Keluargaku pasti tahu. Mereka bisa menyeretku pulang kapan saja, dan memaksaku kembali ke agama mereka. Walau sudah kukatakan berulang kali kalau aku cinta Rasulullah dan orang yang menuntunku pada hidayah Allah."
Meski dalam keadaan kacau, Albert merasakan tulusnya perkataan Chantika. Hatinya bergetar kuat.
"Chantika, aku akan menikahimu. Tapi setelah Calvin sembuh." janji Albert.
"Jangan menungguku sembuh, Albert. Nikahilah Chantika."
Sebuah suara bass menyela. Albert dan Chantika berbalik. Calvin berdiri di belakang mereka. Wajahnya sangat pucat, tapi masih bisa berdiri tegak.
"Calvin, jangan bangun dulu. Kamu harus banyak istirahat." sergah Albert.