Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Spesial] Mata Pengganti, Pembuka Hati: Berbagi Kasih, Berbagi Cinta

7 Februari 2018   05:14 Diperbarui: 7 Februari 2018   13:42 829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tubuhnya merosot dari sofa, lalu mendarat empuk di lantai. Pemuda tampan berparas oriental itu tersentak bangun. Mengerjapkan mata, mengumpulkan nyawa.

"Astaghfirullah..." desisnya.

"Ternyata aku tertidur."

Diliriknya jam digital. Pukul 05.00. Sudah Subuh. Ia tak punya waktu banyak. Bergegas ia naik ke kamar tidur mewahnya, lalu bersiap-siap.

"Calvin...Calvin. Kamu dimana? Tadi aku dengar suara benda jatuh. Kamu kejatuhan sesuatu? Atau ada pajangan yang jatuh?"

Pertanyaan si anak tengah menyambut begitu Calvin turun ke lantai bawah. Sesaat Calvin tak dapat menemukan kata untuk menjawab.

"Bukan apa-apa, Adica. Aku ceroboh. Harusnya setelah Tahajud aku tidak usah tidur saja. Jadinya begini,"

"Ah kamu itu...kebiasaan. Tapi kamu nggak apa-apa kan? Nggak ada yang sakit, kan?"

Sebuah pertanyaan aneh bila sesama laki-laki yang beranjak dewasa masih menanyakan hal seperti itu. Namun, ini berbeda. Calvin Wan istimewa. Kondisinya berbeda dari yang lain. Kidney Cancer yang pernah dideritanya dua tahun lalu membuat tubuhnya jauh berbeda dengan pemuda-pemuda lain seusianya.

"Ok. Trus, kamu mau kemana sekarang?"

"Shalat Subuh dan..."

"Tuan Muda, makanannya sudah siap."

Seorang wanita paruh baya dengan rambut digelung ketat dan pria pendek-gemuk berkacamata mendatangi Calvin. Wajah mereka letih, namun terlihat segurat semangat di sana.

"Terima kasih. Biar saya bawa sekarang." ujar Calvin ramah pada para pelayan setianya.

"Oh, I know. Berbagi kan? Mau kubantu?" tawar Adica.

"No, thanks. Aku bisa sendiri. Time to go. Bye, Adica."

Dengan kata-kata itu, Calvin bergegas pergi. Diangkatnya kotak-kotak berisi penuh makanan ke mobil. Pekerjaan itu dilakukannya sendiri, tanpa bantuan siapa pun. Calvin kuat dan tegar. Selama bisa diatasi sendiri, dia takkan merepotkan orang lain.

Kotak-kotak selesai diangkat dan diatur posisinya. Punggungnya sedikit sakit. Diabaikannya sakit itu, lalu diambilnya kunci mobil. Blogger dan model super tampan itu berkeras menyetir sendiri.

"Bismillah..." bisik Calvin, lalu menyalakan mesin mobil.

**     

Bagaimana kujelaskan cinta

Karena itu tak dapat dijabarkan

Sesuatu yang indah

Terlahir dari rasa

Dan rasa itu karunia Illahi (Andi Arsyil, Oki Setiana Dewi, Marshanda, Kolidi Asadil Alam-Dari Sujud Ke Sujud).

**       

Alphard itu melaju menembus keremangan pagi. Berbelok di tikungan depan kompleks perumahan. Meluncur mantap di jalan raya yang masih sepi. Jumat pagi begini, biasanya ruas jalan depan kompleks tempat tinggalnya jauh lebih lengang.

Tujuan pertamanya adalah masjid. Masjid besar yang bergandengan mesra dengan gereja dan vihara. Ketiga tempat ibadah itu berdiri berdampingan tanpa kendala. Tenang, anggun, dan toleran.

Turun dari mobil, ponselnya berdering. Telepon dari gadis itu lagi.

"Calvin...kamu masih bosan menulis ya? Kamu tahu, banyak pembaca media itu yang menunggu tulisanmu. Tuh lihat, komentar terakhir mereka di artikelmu tentang bit coin. Oh ya, kamu sudah shalat Subuh?"

Luar biasa My Lovely Silvi, pikir Calvin geli bercampur gemas. Gadis cantik berdarah campuran Sunda-Inggris itu berbicara sangat cepat dengan artikulasi yang jelas. Tidak terpeleset sama sekali. Mungkin karena insting bawaannya sebagai penyiar radio, MC, dan story teller.

"Iya, Silvi. Aku libur menulis ya? Dan libur membacakan lanjutan buku itu untukmu." Calvin berkata lembut, tersenyum kecil.

"I see. That's ok. Sudah shalat?" ulang Silvi.

"Belum. Baru saja sampai di masjid."

Pria-pria paruh baya bersorban putih berjalan melewati Calvin. Salah satu di antara mereka mendesis kesal karena merasa Calvin berdiri menghalangi jalan. Yang lainnya cuek saja. Berjalan tanpa kata. Perlahan Calvin melangkah mengikuti mereka.

"By the way, sudah lihat jadwal tutorial Seminar Pendidikan Agama Islam? Gila...parah banget. Masa mulainya Hari Rabu jam empat sampai jam enam sore. Bentrok tuh sama jadwal latihan paduan suara. Gimana menurut kamu, Calvin Sayang?"

Lagi-lagi Silvi bicara dengan cepat. Ia ungkapkan kekesalannya. Jadwal semester genap tak bersahabat.

"Menurutku, suka atau tidak, kita harus mengalah. Tutorial itu kan kewajiban. Sementara paduan suara...hmm apa ya? Bukannya aku sudah tak suka lagi di sana, tapi...ada saatnya kita tahu skala prioritas." kata Calvin sabar.

"Iya...mungkin harus mengalah. Mana jadwal kelasnya hari Jumat lagi? Mengganggu ritual berbagi saja." Silvi masih kesal rupanya.

"Tenang...Silvi Sayang. Kan sudah ada jalan tengah. Aku, kamu, dan keluarga kita masih mempertahankan kebiasaan keluarga. Jangan khawatir, ok?"

Bukan mahasiswa biasa, nampaknya frasa itu cocok untuk Calvin dan Silvi. Mereka mahasiswa berprestasi, berasal dari keluarga terpandang, cerdas, dan inspiratif. Berbeda dengan kebanyakan temannya yang lain, Calvin dan Silvi paham arti berbagi. Mereka punya kebiasaan berbagi tiap minggu. Kebiasaan baik yang diturunkan dari keluarga mereka.

Mereka berdua tak pernah turun ke jalan dengan memakai jas almamater. Menonjolkan dari mana asal mereka. Silvi dan Calvin berbagi sendiri, tanpa melibatkan universitas dan teman-teman mereka. Berkegiatan sosial sendirian, itulah yang mereka lakukan.

Dalam hati Calvin bersyukur waktu iqamatnya masih agak lama. Buru-buru ia percepat langkah. Di sisi lain tak tega menyela curahan hati gadis cantiknya yang terlalu picky dan pencemburu itu.

"Calvin, nanti kamu jemput aku, kan? Kamu tahu, sementara ini mobilku dipegang oleh Sarah dan laki-laki sok penting itu. Sampai mereka menikah, mobilku masih dikuasai mereka....hmmmmm. So, hidup tanpa mobil itu tidak enak, Love." rajuk Silvi manja.

Calvin mengangguk tanpa sadar, lalu teringat kalau Silvi tidak bisa melihatnya. Ini bukan video call atau Skype.

"Iya, Silvi. Nanti setelah berbagi, aku jemput kamu. Terus kita ke kampus dan nonton Eat, Pray, Love. Berbagi dulu sana. Sebentar lagi iqamat."

Beruntungnya Silvi memiliki Calvin. Pasangan serasi untuknya. Berasal dari dunia yang sama, memiliki hobi dan passion yang hampir sama. Memiliki kesadaran berbagi yang sama. Memiliki jiwa penyayang, hati tulus, dan sifat baik yang nyaris serupa. Calvin, pemuda super tampan, super kaya, dan baik hati itu, cocok untuk Silvi.

"Yes... ok, waktunya berbagi. Love you, Calvin."

"Love you too."

Tinggal tiga menit lagi sebelum iqamat. Wudhu dengan cepat, kemudian bergabung dengan para jamaah. Terlihat si pria paruh baya bersorban putih kurang senang dengan kehadiran Calvin. Melempar pandang curiga pada pemuda tampan berpostur semampai dan bermata sipit itu, bibirnya melengkung membentuk senyum sinis.

Selesai shalat dan zikir sejenak, Calvin beranjak keluar masjid. Membuka bagasi mobilnya. Mengeluarkan kotak-kotak berisi makanan. Berjalan sendirian membawa kotak-kotak berat itu. Tanpa sepengetahuannya, si pria bersorban putih pemilik senyum sinis menatapinya dari jauh. Bertanya-tanya apa yang akan dilakukannya.

Calvin melangkah keluar dari pintu gerbang masjid. Disusurinya trotoar, melirik kiri-kanan. Mulai mempertimbangkan siapa yang layak mendapat sarapan gratis di pagi mendung dan berkabut ini.

Sekali lagi, si peragawan dan penulis berdarah Tionghoa tak sadar. Si pria bersorban putih pemilik senyum sinis berjalan pelan mengikutinya. Ia fokus mencari orang-orang yang layak mendapatkan makanan yang dibawanya. Saat berjumpa penjaga masjid, ia hentikan langkah. Diberikannya satu kotak makanan padanya.

"Nuhun Kang, nuhun pisan...Alhamdulillah." ucapnya senang.

"Sami-sami." Calvin berkata sopan, kemudian terus berjalan.

Mantan finalis duta budaya dan duta wisata itu berhenti lagi. Dilihatnya seorang penyapu jalan. Pakaiannya sangat kotor dan kumal. Sandal sebelah kirinya hampir putus. Ini orang yang tepat. Dibagikannya kotak makanan itu. Wajah si penyapu jalanan berbinar bahagia. Ia mengucapkan terima kasih berkali-kali.

"Maaf, kira-kira siapa lagi ya, yang butuh ini...?" tanya Calvin.

Tepat pada saat itu, dari halaman gereja, seorang wanita tua berambut putih berjalan dengan kaki pincang. Sesekali ia membungkuk memegangi kedua lututnya. Pakaiannya sama lusuhnya dengan pakaian si penyapu jalan. Saat melihat perempuan tua itu, hati Calvin tersentuh iba.

"Kami biasa memanggilnya Oma Helenna. Dia jemaat gereja yang rajin. Tak pernah lupa ikut Misa harian. Suaminya meninggal karena sakit bertahun-tahun lalu." Tanpa diminta, si penyapu jalan menjelaskan.

Sejurus kemudian Calvin mendekati perempuan tua itu. Memberinya makanan. Wajah keriput perempuan itu dipenuhi gurat kegembiraan.

"Puji Tuhan...terima kasih, Anak Muda. Tuhan memberkatimu." Ia berucap senang, menatap Calvin penuh terima kasih.

Kedamaian menyelimuti hati Calvin. Bahagia rasanya bisa membuat orang-orang kecil, lemah, dan terpinggirkan tersenyum. Senyuman mereka adalah sesuatu yang sangat berharga baginya.

Dengan tangannya, ia berbagi kasih untuk mereka. Berbagi cinta dan kebaikan. Ketika berbagi, Calvin tak pernah memakai mobil. Berjalan kaki saja. Malah sering kali naik sepeda dan naik motor. Menyusuri jalan, melihat langsung kehidupan orang-orang kecil dan termarginalkan itu. 

Pakaiannya pun sangat sederhana. Pernah suatu kali ia hanya memakai sandal dan piyama. Mereka tak perlu tahu siapa Calvin Wan yang sebenarnya. Orang-orang kecil itu tidak pernah tahu siapa sebenarnya sosok pemuda tampan berwajah lembut dan loveable yang membagikan makanan untuk mereka tiap Hari Jumat. Andai mereka sadar bahwa pemuda berhati malaikat itu adalah seorang model, blogger, mahasiswa inspiratif, dan anak dari keluarga terpandang, pastilah mereka kian kagum.

Semua kotak makanan telah dibagikan. Hati diliputi kebahagiaan, Calvin kembali ke masjid. Di gerbang ia nyaris bertabrakan dengan pria bersorban putih. Kini senyumnya tak lagi sinis. Di sudut matanya justru mengalir setitik air mata.

"Bapak kenapa menangis? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Calvin berempati.

Si pria mengusap air matanya. Tangannya terulur, menyalami Calvin.

"Maafkan saya. Tadi saya sempat kesal dan berpikiran negatif tentang kamu. Sengaja saya ikuti kamu dari jauh. Ternyata kamu melakukan perbuatan yang sangat baik. Sekali lagi, maafkan saya. Perbuatan yang kamu lakukan sangat mulia. Kamu berbagi kasih, kamu berbagi cinta untuk orang-orang itu."

Sesaat Calvin terenyak. Tak tahu harus berkata apa. Bagaimana ia bisa menjelaskan tentang cinta? Cinta pada sesama, keinginan untuk berbagi dan mengasihi sesama. Semua itu tak dapat dijabarkan. Kebaikan, cinta, kasih, dan niat berbagi, semuanya datang dari Illahi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun