Calvin mengangguk tanpa sadar, lalu teringat kalau Silvi tidak bisa melihatnya. Ini bukan video call atau Skype.
"Iya, Silvi. Nanti setelah berbagi, aku jemput kamu. Terus kita ke kampus dan nonton Eat, Pray, Love. Berbagi dulu sana. Sebentar lagi iqamat."
Beruntungnya Silvi memiliki Calvin. Pasangan serasi untuknya. Berasal dari dunia yang sama, memiliki hobi dan passion yang hampir sama. Memiliki kesadaran berbagi yang sama. Memiliki jiwa penyayang, hati tulus, dan sifat baik yang nyaris serupa. Calvin, pemuda super tampan, super kaya, dan baik hati itu, cocok untuk Silvi.
"Yes... ok, waktunya berbagi. Love you, Calvin."
"Love you too."
Tinggal tiga menit lagi sebelum iqamat. Wudhu dengan cepat, kemudian bergabung dengan para jamaah. Terlihat si pria paruh baya bersorban putih kurang senang dengan kehadiran Calvin. Melempar pandang curiga pada pemuda tampan berpostur semampai dan bermata sipit itu, bibirnya melengkung membentuk senyum sinis.
Selesai shalat dan zikir sejenak, Calvin beranjak keluar masjid. Membuka bagasi mobilnya. Mengeluarkan kotak-kotak berisi makanan. Berjalan sendirian membawa kotak-kotak berat itu. Tanpa sepengetahuannya, si pria bersorban putih pemilik senyum sinis menatapinya dari jauh. Bertanya-tanya apa yang akan dilakukannya.
Calvin melangkah keluar dari pintu gerbang masjid. Disusurinya trotoar, melirik kiri-kanan. Mulai mempertimbangkan siapa yang layak mendapat sarapan gratis di pagi mendung dan berkabut ini.
Sekali lagi, si peragawan dan penulis berdarah Tionghoa tak sadar. Si pria bersorban putih pemilik senyum sinis berjalan pelan mengikutinya. Ia fokus mencari orang-orang yang layak mendapatkan makanan yang dibawanya. Saat berjumpa penjaga masjid, ia hentikan langkah. Diberikannya satu kotak makanan padanya.
"Nuhun Kang, nuhun pisan...Alhamdulillah." ucapnya senang.
"Sami-sami." Calvin berkata sopan, kemudian terus berjalan.