Hati Calvin tersentuh mendengarnya. Sebuah ketidakadilan menurutnya. Lelaki yang pernah membullynya ini adalah bukti dari kejamnya persekusi. Tergerak niat untuk membantu lelaki itu.
"Well...sebenarnya, di kantor ini tidak ada lowongan pekerjaan. Tapi aku bisa memberikan pekerjaan untukmu di tempat lain kalau kamu mau." Calvin memulai, santun dan hati-hati.
Mata lelaki itu berbinar antusias. "Tak masalah. Apa pun pekerjaannya, aku mau."
"Sebelumnya, maaf kalau pekerjaan ini tak sebanding prestise dan gajinya dibanding pekerjaan lamamu. Maukah kamu jadi salah satu supir keluargaku?"
"Jadi supir pribadi? Ya, aku mau. Tentu aku mau. Terima kasih...kapan aku bisa mulai bekerja?"
Kedua mata yang semula redup kembali bercahaya. Lega hati Calvin melihatnya. Walaupun kecil, setidaknya ia bisa memberi bantuan untuk lelaki itu agar dapat bertahan hidup.
Sebelum pergi, lelaki itu diberinya sedikit uang. Ia berpesan, uang itu untuk istri dan anak perempuannya. Tak tergambarkan begitu besarnya rasa terima kasih lelaki itu. Calvin yang pernah ia bully, caci-maki, kini justru menolongnya. Mengulurkan tangan dengan penuh kasih. Satu-satunya orang yang mau peduli. Calvin Wan, pria penyabar dan pemaaf yang berhati seluas samudera. Kekecewaan di masa lalu terkalahkan dengan kemampuan untuk memaafkan dan kelembutan hati.
** Â Â Â Â
Indah dan heningnya sepertiga malam dimanfaatkan Calvin dan Silvi untuk shalat Tahajud. Menggapai kemuliaan langit. Menyampaikan rindu dan cinta pada Illahi. Di saat kebanyakan orang terlelap di balik selimut, Calvin dan Silvi terbangun untuk beribadah. Menghadapkan jiwa mereka pada Sang Maha Cinta.
Usai Tahajud, tidur bukan lagi pilihan. Keduanya melewatkan waktu berdua. Hanya berdua. Memagut hati dengan cinta.
"Time to read," Calvin membuka buku di pangkuannya.