Spontan Calvin menengadah dari layar komputernya. Ia mengenali wajah itu, mengenali lelaki itu. Bukankah ia yang pernah memukuli Calvin dan memaksanya mengalah di pertandingan basket bertahun-tahun lalu?
"Kamu...?" kata Calvin tak percaya.
"Calvin, kamu Calvin kan? Aku minta maaf." ucap si lelaki penuh kesungguhan.
Sesaat mata Calvin tak berkedip menatapi si lelaki penyerangnya. Penampilannya sangat sederhana, kalau tak bisa dikatakan menyedihkan. Wajahnya letih. Tubuhnya sangat kurus. Lingkaran-lingkaran hitam terlukis di bawah matanya yang cekung. Pertanda kelelahan jiwa-raga. Apa pun masalah hidupnya, pastilah sangat berat.
"Sekali lagi aku minta maaf," gumam si lelaki, dan ia benar-benar menyesal.
Sejurus kemudian Calvin bangkit. Menjabat tangan laki-laki itu. Amat kuat genggaman tangannya.
"Sejak bertahun-tahun lalu, aku sudah memaafkanmu." Calvin berujar penuh wibawa, tulus dan meyakinkan.
"Syukurlah. Terima kasih, Calvin. Terima kasih."
"Sama-sama. Oh ya, dari mana kamu tahu kantorku?"
"Aku sedang mencari pekerjaan, aku baru saja dipecat dari media tempatku bekerja selama ini. Lalu..."
Mulailah kisah panjang itu mengalir. Tentang hidup si lelaki malang. Penyebabnya dipecat lantaran persekusi. Hanya karena sebuah tweets yang diduga menghina seorang ulama terkenal, ia dipecat. Nama baiknya tercemar. Pendukung ulama itu kelewat fanatik. Sampai-sampai media cetak itu diancam akan diboikot kalau tidak memecat si lelaki malang.