"Saya rasa, harus ada dua orang yang berdamai." Calvin angkat bicara. Menatapi Silvi dan Yogi bergantian.
"Berdamai? Memangnya saya bermusuhan dengan Silvi?" Yogi rupanya menangkap arah tatapan Calvin.
"Oh bagus, kalau kamu tidak punya niat memusuhi Silvi. Saya tanya padamu: benarkah kamu malu punya adik ipar seperti Silvi?"
Sesaat Yogi terdiam. Silvi dan Sarah menunggu dengan tegang. Sebaliknya, Calvin tetap tenang. Sangat charming dan kharismatik. Pembawaan Calvin inilah yang sangat disukai Silvi.
"Tentu saja tidak. Untuk apa saya malu? Saya percaya...di saat Allah melemahkan salah satu indera, Ia akan menguatkan indera-indera lainnya. Allah tidak pernah menciptakan produk gagal. Semua ciptaanNya pastilah sempurna dan istimewa."
Mendengar itu, Silvi terperangah. Sarah memberi pandangan lembut penuh cinta pada calon suaminya. Wajah tampan Calvin mulus tak terbaca.
"Well, indah sekali kata-katamu. Tapi, mengapa kamu mendiamkan Silvi? Menjauhinya, dan tidak peduli padanya?" tanya Calvin penuh selidik.
"Itu karena saya tidak tahu bagaimana harus bersikap padanya." sahut Yogi.
"That's all?"
"Yups."
Tak ada alasan bagi Calvin untuk tidak mempercayai laki-laki yang beberapa tahun lebih muda darinya itu. Raut wajahnya, kesungguhan sikapnya, senyumnya, dan tatapan matanya mencerminkan kejujuran. Calvin menggamit lengan Silvi, menuntunnya ke dekat calon kakak iparnya itu.