Silvi menggigit bagian dalam pipinya. Hatinya diselimuti kesedihan. Di sini, di tengah keluarganya yang tengah berbincang akrab, tertawa, dan mendiskusikan tanggal pernikahan, ia kesepian. Sepi serasa mengurungnya di tengah keramaian.
Hari Jumat ini tak biasa. Tradisi berbagi makanan untuk orang-orang yang membutuhkan di Hari Jumat diganti dengan acara keluarga. Kumpul dan diskusi tanggal pernikahan. Laki-laki itu datang pula. Laki-laki berhidung mancung dengan wajah tipikal India itu tetap dingin padanya. Membuatnya cemas dan merasa asing.
Bibir Silvi gemetar. Begini rasanya terabaikan di tengah keluarga sendiri. Laki-laki itu berhasil menyedot perhatian semua orang. Mereka terlalu sibuk bicara dengan laki-laki itu. Semua terlibat dalam diskusi, kecuali Silvi.
Ketika keluarga besar bangkit berdiri dan ingin berfoto, Silvi tak ikut. Ia tatapi anggota keluarganya satu per satu. Tak ada satu pun yang mengajaknya bergabung. Kehadirannya memang tidak diinginkan. Jika sudah ada laki-laki itu, Silvi pastilah tersisihkan.
Kepala Silvi tertunduk. Ia mencoba berpikir positif. Tak mengapa ia tidak ikut berfoto dengan keluarga besar kali ini. Sekali-sekali mengalah tak apa. Sebab, biasanya Silvi menjadi sosok yang paling berbeda dan paling cantik sendiri. Sudah sering terjadi. Si cantik Silvi menjadi sosok yang dominan dan cantik tiap kali foto bersama keluarga besar. Anggap saja ia sedang mengalah.
Sekarang tak ada Silvi. Sebagai gantinya, laki-laki itulah yang paling dominan. Terdengar suara barithonnya bicara dengan logat Melayu yang kental. Meski Non-Pri, lelaki itu tak bisa berbahasa Tamil atau Hindi sama sekali. Bahasa Jawa pun tak lancar. Sebaliknya, ia fasih berbahasa Melayu-Palembang.
Silvi menatapi keluarga besarnya dengan masygul. Perlahan mencoba menikmati sepi. Seperti yang pernah disarankan Calvin padanya.
Calvin? Sepotong nama itu muncul di permukaan hati Silvi. Seraut wajah rupawan berkelebat. Calvin Wan, orang yang Silvi butuhkan saat ini. Silvi membutuhkan kehadiran Calvin.
Tetapi, sepertinya riskan. Calvin pasti masih marah padanya. Masih kecewa gegara Silvi menyebut-nyebut kelemahannya. Calvin menyangka itu makian, padahal sebenarnya bukan. Silvi tak pernah bermaksud memaki. Calvin hanya tak mengerti bagaimana Silvi yang sebenarnya.
"Calvin..." lirih Silvi tanpa sadar. Menggenggam kalung yang melingkar di lehernya, lalu meremasnya.
"Kamu dimana?"